Bencana Terbesar Adalah Bencana Akidah (Catatan Penolakan Perayaan Natal Bersama)
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Di penghujung tahun yang penuh dengan bencana ini, tersiar kabar bahwa di negeri ini akan ada rencana penyelenggaraan perayaan Natal Bersama yang diinisiasi oleh Menteri Agama Republik Indonesia. Seperti diwartakan oleh beberapa media, Kementerian Agama (Kemenag) RI akan menggelar perayaan Natal bersama tahun ini. Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menyebut bahwa perayaan Natal bersama ini perdana digelar Kemenag sejak Indonesia merdeka. Hal ini disampaikan Nasaruddin saat hadir dan memberikan sambutan dalam acara Natal Tiberias 2025 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Sabtu (6/12/2025) malam.
"Kementerian Agama, Bapak Ibu sekalian, besok ini, insyaallah kita pun juga akan melaksanakan Natal bersama. Pertama semenjak Republik Indonesia merdeka, di Kementerian Agama Republik Indonesia ini, ada Kementerian Agama merayakan Natal bersama," kata Nasaruddin dalam sambutannya.
Nasaruddin mengatakan perayaan Natal bersama oleh Kemenag RI ini menekankan bahwa tidak boleh ada sekat di antara sesama anak bangsa. Dia menilai keberagaman yang menjadikan Indonesia sebagai lukisan Tuhan yang indah tidak boleh dirusak dengan ketidakharmonisan. (Natal Bersama 2025) Ini tentu adalah bencana maha dahsyat yang melebihi bencana alam apapun di jagad ini. Ini adalah bencana akidah yang dalam worldview Islam dianggap paling besarnya bencana karena tidak hanya menyangkut urusan duniawi belaka namun ihwal akhirat juga. Saking dahsyatnya hal itu hingga digambarkan di dalam Al Qur'an,
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (88) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (89) تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (90) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (91) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (92)
“Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (QS. Maryam: 88-92)
Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, dan Malik mengatakan bahwa makna Iddan dalam ayat tersebut ialah 'aziman, yakni sesuatu yang sangat besar (dosanya). Lafaz iddan ini ada tiga bacaan mengenainya, yaitu iddan, addan, dan idda, tetapi yang terkenal adalah bacaan yang pertama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepadaku Mu'awiyah, dari Ali, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. (Maryam: 90-91) Bahwa kemusyrikan itu membuat terkejut langit, bumi, gunung-gunung, serta semua makhluk kecuali jin dan manusia; dan hampir-hampir semuanya lenyap karenanya disebabkan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta'ala. Untuk itu sebagaimana tidak memberi manfaat amal baik orang musyrik karena kemusyrikannya, kita berharap semoga Allah memberikan ampunan terhadap dosa-dosa ahli tauhid.
Pernyataan Menteri Agama itu sebenarnya adalah pernyataan yang selalu diulang-ulang oleh para pegiat pluralisme agama di negeri ini semenjak dulu. Seakan-akan jika umat Islam tidak ikut andil dalam melakukan perayaan atau mengucapkan selamat hari raya maka "lukisan Tuhan yang indah" itu akan rusak dan keharmonisan antar umat beragama di Indonesia akan terusik. Kalimat melankolis nan indah itu sayangnya terlalu berlebihan belaka.
Indonesia adalah negara majemuk yang kaya akan berbagai perbedaan latar belakang masyarakatnya. Dan pluralitas ini adalah sunatullah yang tidak bisa ditolak dan bahkan harus disyukuri dengan benar. Umat Islam tidak pernah menafikan pluralitas agama karena di dalam Al Qur'an sudah jelas ditegaskan bahwa bagi kalian agama kalian dan bagi kami agama kami (surah Al Kafirun). Serta penegasan dalam ayat lain yang berbunyi لا اكراه في الدين alias tidak ada paksaan dalam beragama. Namun Islam dengan tegas menolak keras pluralisme agama yang mencampur adukkan ajaran agama. Dan hal ini diperkuat dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 mengenai pengharaman paham pluralisme agama yang dimaknai "semua agama sama dan benar", serta liberalisme dan sekularisme agama, karena dianggap bertentangan dengan akidah Islam yang eksklusif. Fatwa ini menegaskan Islam bersifat eksklusif dalam akidah dan ibadah, tetapi mendorong toleransi dan interaksi damai dalam aspek lain, bukan penyamaan semua agama.
Perayaan Natal bersama yang diinisiasi oleh kementerian agama yang dengan jumawa disebut sebagai yang pertama kali dalam sejarah Republik ini sungguh sangat menunjukkan kepada umat bahwa tidak semua tokoh agama itu bisa masuk dalam kriteria Ulama akhirat dalam klasifikasi Ulama ala Imam Al Ghazali. Sebab predikat Ulama hanya patut disandang oleh mereka yang benar-benar takut kepada Allah,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Hanya saja yang takut kepada Allah dari sekian hamba-Nya adalah Ulama" (QS. Fathir : 28)
Ulama sebagai pewaris para Nabi adalah sosok yang paling kuat menjaga adab dan hak Allah. Beradab kepada Allah artinya mereka bisa menempatkan posisi yang sesuai dengan kepatutan yang menjadi hak Allah. Apa itu hak Allah? Tiada lain adalah untuk disembah tanpa ada sekutu di sisi Nya.
Umat Islam paham betul apa makna Natal bagi umat yang merayakannya. Mereka meyakini bahwa itu adalah hari kelahiran anak Tuhan. Sedangkan umat Islam meyakini bahwa Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dalam akidah sifat dua puluh anak-anak (bocah) Muslim bahkan sudah dididik bahwa Allah berbeda dengan makhluk (Mukholafah Lil Hawadis). Beranak dan diperanakkan adalah sifat makhluk, maka jelas hal itu sesuatu yang tidak mungkin dinisbatkan kepada Allah sang Khaliq. Lantas memaksa orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu Maha Esa (tidak punya anak) untuk ikut merayakan keyakinan kaum yang meyakini trinitas, bukankah merupakan hal yang absurd dan kontradiktif. Pendukung sepakbola yang fanatik saja ketika disuruh untuk ikut merayakan hari bersejarah klub lain yang berbeda "ideologi" dengan mereka, tentu enggan melakukannya, apalagi ini menyangkut urusan akidah yang bukan perkara duniawi belaka. Pelaksanaan toleransi adalah dengan cara tidak menggangu keyakinan atau ibadah umat lain. Bukan malah "bablas" melakukan kolaborasi antar umat beragama yang hakikatnya justru bisa dianggap sebagai tindakan yang "terlalu genit" dalam memasuki "dapur" orang lain. Namun sekali lagi, kasus inilah yang akhirnya bisa membedakan mana ulama akhirat dan mana yang selainnya.
Mengenai kasus perayaan Natal bersama, tentu ingatan kolektif bangsa ini akan tertuju kepada sosok Ulama besar asal Minangkabau yang menjadi ketua MUI pertama, yakni Buya Hamka. Karena di zaman penulis tafsir Al Azhar inilah pernah terjadi kasus serupa (ide perayaan Natal bersama). Namun berbeda dengan beberapa tokoh Islam hari ini, Buya Hamka saat itu tegas menolak ide perayaan Natal bersama tersebut. Bahkan di dalam memoar yang disusun oleh Rusydi Hamka (putra Buya Hamka) disebutkan, "Dalam sebuah khutbah Jumat di Masjid Agung Al-Azhar, dengan suara lantang Ayah (yakni Buya Hamka) mengingatkan umat bahwa haram hukumnya, bahkan kafir bila ada orang Islam yang menghadiri upacara Natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik. “Ingat,” dengan suara keras. “Dan katakan kepada kawan-kawan yang tak hadir di sini. Itulah aqidah Tauhid kita.”(Pribadi dan Martabat Buya Hamka; Sebuah Memoar; Penulis : H. Rusydi Hamka, hal 241-242; Penerbit : Noura Religi (Mizan Publika, 2016)
Keteguhannya dalam memegang fatwa haramnya Natal bersama inilah yang kemudian membuatnya mengundurkan diri dari Ketua Majelis Ulama Indonesia karena bertentangan dengan kemauan penguasa saat itu. Tak berapa lama setelah fatwa itu dikeluarkan (dikeluarkan pada 1 Jumadil Awal 1401 atau 7 Maret 1981), kemudian pada 24 Juli 1981, Buya Hamka wafat menghadap Allah SWT.
Ada pernyataan menarik dari Sulthonul Auliya' Al Quthb Syeikh Abdul Qodir Al Jaelani dalam kitab al-ghunyah li Thalibi Thariq al-haqq yang menyatakan,
(فصل)
ويستحب اذا رأی بيعۃ أو كنيسۃ أو سمع صوت ناقوس أو
رأی جمعًا من المشركين واليهود والنصاری أن يقول
أشهد أن لا إله إلاّ ﷲ وحده لا شر يك له إلٰهًا واحدًا, لا نعبد الا إيّاه فإن ذلك مرو ی عن النّبی صلﷲ عليه و سلم , وقال : غفر ﷲ له بعدد أهل الشرك
( الغنيۃ لطالبی طريق الحق عز وجل: ص. ٩٦ الجزء الأول ; دار الكتب العلميۃ, بيروت لبنان ١٤١٧ ه/ ١٩٩٧ م )
"Bahwa disunahkan ketika melihat gereja atau Sinagog atau mendengar suara lonceng gereja, atau melihat kumpulan orang Musyrik, Yahudi, dan Nasrani hendaklah kau berdoa,
أشهد أن لا إله إلاّ ﷲ وحده لا شر يك له إلٰهًا واحدًا, لا نعبد الا إيّاه
(Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq Juz 1 Hal. 96, Darul Kitab Al Ilmiyah, Beirut-Lebanon).
Menurut Syekh Abdul Qodir Al Jailani disunahkan membaca syahadat saat melihat tempat ibadah orang kafir agar akidah kita tidak terkotori. Sebab di tempat itu Allah selalu dimaksiati dan disekutukan. Ini menandakan bahwa para Ulama memang sangat kuat memegang ghirah dalam menjaga kemurnian akidah mereka. Bagi mereka akidah adalah nomor satu dalam kehidupan sebab ia menentukan keselamatan hidup orang beriman di dunia dan di akhirat kelak. Dikatakan di dalam Al Qur'an,
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا
"Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar" (QS. Al Ahzab: 70).
Beberapa Ulama memberikan tafsiran yang berbeda mengenai kalimat قول سديدا tersebut. Di dalam tafsir Baqhowi disebutkan bahwa makna قول سديدا menurut Ibnu Abbas adalah perkataan yang benar. Menurut Qotadah adalah perkataan yang adil. Menurut Imam Hasan adalah perkataan yang mengandung kejujuran. Sedangkan menurut Ikrimah adalah kalimat tauhid yakni tidak ada Tuhan selain Allah.
Membersihkan akidah dari polusi pluralisme agama di akhir zaman adalah urgensi (fardhu ain) yang harus diutamakan. Mengingat kian derasnya disrupsi informasi di berbagai media sosial yang mana kini jadi kaidah umum bahwa orang yang dianggap bisa dijadikan panutan adalah mereka yang pengikutnya banyak (Influencer) meskipun tidak jelas sanad keilmuannya. Umat yang bodoh ilmu agama lebih memilih influencer yang podcastnya besar dan banyak pengikut sebagai sumber rujukan daripada bertanya kepada para Ulama.
Kembali ke pembahasan perayaan Natal bersama, mengapa harus ditolak? Sebab dalam pandangan Islam, kesyirikan adalah kedholiman paling besar di dunia ini. Hal ini ditegaskan oleh Al Qur'an,
وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
"Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar."(QS. Luqman: 13)
Dalam tafsir Al Shobuni dijelaskan (mengenai surah Luqman ayat 13 tersebut),
أي واذكر موعظة لقمان الحكيم لولده، حين قال له واعظاً ناصحاً مرشداً: يا بني لا تشرك بالله أحداً، لا بشراً، ولا وثناً، ولا ولداً، فإن الشرك قبيحو,خيم العاقبة، فإن من سوى بين الخالق والمخلوق، وبين الإله والوثن، فهو أحمق الناس وأبعدهم عن منطق العقل والحكمة، وحري به أن يجعل في عداد البهائم
"Dan ingatlah nasihat Luqman yang Bijaksana kepada putranya, ketika ia berkata kepadanya, menasihati, membimbing, dan menasihatinya: “Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, baik manusia, berhala, maupun anak, karena menyekutukan Allah adalah perbuatan yang buruk dan mendatangkan akibat yang mengerikan. Barangsiapa menyamakan Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya, dan menyamakan Allah dengan berhala, maka ia adalah orang yang paling bodoh dan paling jauh dari akal dan kebijaksanaan, dan ia pantas digolongkan ke dalam golongan binatang.” (Tafsir Al Wajiz Al Muyassar Lil Syekh Muhammad Ali As Shobuni, cet. 08, 2007 M/ hal. 1018, Maktabah Al Ashhriyyah, Beirut, Lebanon)
Di dalam tafsir at Thobary disebutkan mengenai penjelasan surah Az Zumar ayat 10-14,
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ: قل يا عبادي الذين صدقوا الله ورسوله : اتقوا الله ربكم بطاعته ، واجتناب معاصيه
"Katakanlah, wahai hamba-hamba Ku yang beriman (yang membenarkan Allah dan Rasul Nya), bertakwalah kepada Tuhan kalian (dengan melakukan ketaatan kepada Nya) dan (menjauhi laranganNya). Dan tentu larangan paling besar di alam semesta ini adalah melakukan kesyirikan kepada Allah. ﴿
وَأُمِرْتُ لأنْ أَكُونَ أَوَّلَ المُسْلِمِينَ) وأمرني ربي - جل ثناؤه - بذلك، لأكون أول من أسلم وأخلص له العبادة
"Aku diperintahkan untuk menjadi orang yang pertama-tama berserah diri" (Allah memerintahkanku menjadi orang yang pertama-tama berserah diri dan memurnikan ibadah (menyembah) kepada Nya.
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَهُ ديني قل لهم : إني أعبد الله مفرداً له طاعتي وعبادتي، وأبرأ مما سواه من الأنداد والآلهة
"Katakanlah, "Aku menyembah Allah, dan mengabdikan agamaku sepenuhnya kepada-Nya." Katakan kepada mereka: Aku menyembah Allah semata, mengarahkan ketaatan dan ibadahku kepada-Nya, dan aku menolak semua (berlepas diri dari) penyembahan dan tuhan-tuhan lain selain Dia."
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al Qur'an yang menegaskan untuk memurnikan tauhid kita.Walhasil mengutip Buya Hamka-, "Soal aqidah, diantara Tauhid mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik." (Juz Amma Tafsir Al Azhar, terbitan Gema Insani Press, tafsir surah Al Kafirun hal : 309).
Semoga kita diselamatkan dari fitnah akidah yang semakin mengerikan ini. Wallahu A'lam Bis Showab.
Dimuat Di:
https://hidayatullah.com/artikel/2025/12/25/303462/bencana-akidah-di-indonesia.html
