Bencana Nasional Yang Sesungguhnya

Bencana Nasional Yang Sesungguhnya

Oleh : Muhammad Syafii Kudo 

1154 jiwa meninggal dunia, 165 jiwa masih hilang, 378.200 jiwa mengungsi, 166.925 rumah rusak, 215 fasilitas kesehatan rusak, 3.188 fasilitas pendidikan rusak, 803 rumah ibadah rusak, 34 jembatan putus, dan 81 jalan putus. Demikian data terakhir (per 31/12/25) yang dikeluarkan oleh BNPB mengenai cakupan dampak jumlah korban dan kerusakan akibat bencana Sumatera. (Jumlah Korban Bencana Sumatera ). 

Penulis tidak ingin menyematkan istilah 'alam' dalam masalah bencana Sumatera ini. Sebab bagi penulis pribadi (dengan menyaksikan banyaknya tayangan visual yang marak beredar di berbagai media), bencana Sumatera bukanlah murni bencana alam, melainkan bencana yang disebabkan oleh ulah tangan manusia yang nir rasa  kemanusiaan. Jika boleh disebut lebih ekstrim, bencana Sumatera adalah perencanaan pembunuhan massal yang terstruktur dan sistematis yang dilakukan oleh segelintir elite Oligarki. Mengapa demikian? Sebab ketika melihat lautan kayu gelondongan yang ikut tersapu air bah, akal sehat tentu akan bisa menyimpulkan bahwa hutan di hulu hutan Sumatera (lokasi kejadian) sudah benar-benar gundul dari pepohonan asli yang sedari awal sudah "ditanam oleh Allah" ketika menciptakan hutan Sumatera. Lebih tepatnya hutan telah dialih-fungsikan oleh tangan-tangan jahil yang di otaknya hanya tergambar cuan sebagai tujuan hidup. Mereka adalah golongan yang bersikap masa bodoh dengan nasib manusia lainnya. 

Bencana Sumatera adalah contoh nyata kebebalan manusia yang sudah tidak menggunakan hati nuraninya dalam mencari penghidupan. Mereka inilah orang-orang tamak yang tega meraup cuan dengan mengorbankan nyawa orang lain. Dan hal ini diperparah dengan kebebalan Penguasa yang masih enggan menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana Nasional dengan berbagai dalih yang oleh masyarakat dianggap tidak masuk akal. Padahal dampak yang ditimbulkan sudah melebihi batas kemampuan daerah yang terdampak. 

Jika hanya alam yang disalahkan dalam kasus bencana Sumatera, maka bencana demi bencana akan tetap akan dituai oleh masyarakat negeri ini di masa yang akan datang, sebab mindset yang hanya menyalahkan alam sebagai dalang utama berbagai bencana ekologis yang terjadi, alih-alih menjadikan masyarakat negeri ini melakukan introspeksi dan evaluasi malahan membuat mereka lupa diri.

Seyogyanya lebih bijak diakui bahwa berbagai bencana ekologis itu adalah sebagai peringatan kepada semua pihak agar mampu berbenah diri. Alam yang dituding sebagai biang kerok dari berbagai bencana yang terjadi tidak lain hanyalah bagian daripada ”tentara” Allah. Alam bergerak sehingga terjadi bencana juga atas izin Allah. Hal itu sebagai pengingat bahwa ada yang salah dengan kelakuan manusia. Hal ini disebutkan di dalam Al Qur'an,

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ

“Dan Musibah yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan kalian, dan Allah telah memaafkan banyak kesalahan.” (QS: As-Syura: 30).

Allah terlalu sering “menjewer” manusia dengan bencana “kecil” akibat kesalahan mereka sendiri. Terutama di negeri ini. Lihatlah bagaimana hutan, sungai, tanah, laut, dan udara, bukankah semuanya tak luput dari tindakan jahil manusia. 

Maka sangat layak peringatan Allah datang kepada manusia. Karena Allah sudah jauh hari mewanti-wanti dalam Firman Nya,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS: Ar Rum :41).

Bencana yang terjadi biasanya diklasifikasi menjadi 3 hal oleh para ulama. Pertama sebagai ujian bagi orang yang beriman sebab dikatakan bahwa Allah manakala mencintai seorang hamba maka Dia akan mengujinya. Kedua bencana dinilai sebagai peringatan bagi kaum yang lalai (lupa) agar mereka kembali ke jalan yang benar. Ketiga bencana dinilai sebagai azab bagi kaum yang durhaka sebagai akibat kedurjanaan mereka.

Dari tiga uraian di atas, masyarakat Indonesia harus bisa jujur meraba dimanakah posisi mereka dalam masalah bencana ini. Namun sebagai umat Islam yang berakidah Ahlussunah Wal Jama'ah, penulis yakin bahwa berbagai bencana yang terjadi (setidaknya) dalam setahun belakangan ini bukanlah termasuk dalam kategori adzab seperti yang dialami umat-umat terdahulu. Sebab para Ulama  berpendapat bahwa bencana yang terjadi pada umat Nabi Muhammad ﷺ sebesar apapun itu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah azab karena Allah telah memuliakan umat ini sebab kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ. Artinya bencana yang terjadi di zaman ini adalah ujian atau peringatan semata bukan azab seperti yang terjadi pada umat-umat terdahulu.

Imam Fakhruddin Ar Razi Rahimahullah menyebutkan empat alasan mengapa bencana yang menimpa umat ini bukan termasuk daripada azab. 

Pertama, karena balasan suatu dosa hanya akan terjadi pada hari kiamat (Qs. Al Ghafir : 17).  

Kedua, bencana bisa menimpa siapa saja, baik orang yang shaleh atau tidak, baik orang yang beriman atau tidak, semua bisa tertimpa.

Ketiga, dunia adalah tempat beramal bukan tempat pembalasan.

Keempat, bencana sebagai suatu musibah diturunkan karena menjadi proses yang terbaik bagi manusia. (Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, tth. Hal. 173-174).

Meskipun demikian, tidak berarti kita lantas lupa diri dengan semua itu. Sebab Allah juga tidak suka kepada umatnya yang terus-menerus menenggelamkan diri dalam kemaksiatan (kedholiman) yang sama tanpa ada rasa menyesal dan akhirnya bertobat. Sebab bisa jadi Allah yang Maha Berkehendak juga berhak membinasakan segolongan kaum sebagai peringatan bagi kaum yang lain. Meskipun sebenarnya Allah SWT adalah dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang. Bahkan disebutkan di dalam hadis Qudsi bagaimana gambaran kasih sayang Allah kepada makhlukNya. Di dalam Hadis Qudsi, Allah berfirman,

“Setiap hari lautan meminta izin kepada Tuhannya seraya berkata, Wahai Tuhanku, berilah izin kepadaku untuk menenggelamkan anak cucu Adam, ia makan rezeki dari-Mu, tapi ia menyembah kepada selain-Mu“.

Langit juga memohon izin kepada Allah seraya berkata, “Wahai Tuhanku, berilah izin kepadaku untuk menelungkupkannya, ia makan rezeki dari-Mu, tapi ia menyembah kepada selain-Mu”.

Bumi juga memohon seraya berkata, “Wahai Tuhanku, izinkan kepadaku untuk menelan anak cucu Adam, ia makan rezeki dari-Mu, tapi ia menyembah kepada selain-Mu”.

Mendengar permohonan mereka, Allah Subhanahu Wata’ala menjawab, “Biarkan mereka, kalau sekiranya kalian menciptakan mereka, pasti kalian menyayangi mereka“.

Laut, langit, bumi sebenarnya telah murka dan muak melihat kesombongan manusia akan tetapi Allah tidak mengizinkannya karena kelembutan rahmat-Nya, boleh jadi di sana masih ada yang sering menyebut nama Allah, beristighfar, karena istighfar dapat meredam amarah Allah Subhanahu wata’ala, jika tidak ada yang demikian dan orang – orang sholeh juga hanya diam ketika melihat kemungkaran maka bisa menjadi sebab bencana diturunkan secara merata.

Ketika Allah mengirim malaikat untuk menghancurkan suatu kaum yang mana di dalamnya ada orang yang sholeh maka malaikat ini kembali dan berkata kepada Allah, ”Ya Allah, Engkau mengutusku untuk menghancurkan suatu kaum padahal di dalamnya ada hamba yang sholeh, Allah berkata, ”Mulailah hukuman-Ku kepada orang sholeh itu”, Malaikat berkata, ”Mengapa Ya Rabb”, Allah menjawab, ”Sehari pun wajahnya tidak pernah berubah marah karena-Ku,  dia senang dengan kesalehannya namun dia cuek dengan kaumnya dan orang yang ada disekitarnya.”

Dan Allah pun tidak pernah sekonyong-konyong menimpakan bencana kepada manusia melainkan karena ada beberapa alasan. Di dalam Al Qur'an disebutkan,

وَمَا كُنَّا مُهْلِكِى الْقُرٰىٓ اِلَّا وَاَهْلُهَا ظٰلِمُوْنَ

Tidak pernah (pula) Kami membinasakan (penduduk) negeri-negeri, kecuali penduduknya dalam keadaan zalim. (QS. Al Qashash : 59)

Nah, menyaksikan keengganan penguasa  dalam menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional yang akhirnya berimbas pula pada tiadanya tersangka yang ditetapkan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, sebenarnya adalah hakikat daripada bencana itu sendiri. Sebab dengan demikian, mindset mereka masih tidak berubah yakni tetap menyalahkan alam sebagai penyebab terjadinya bencana. Bukan menyalahkan diri sendiri yang salah dalam mengambil kebijakan pengelolaan lingkungan (hutan). Akibatnya hutan yang mengalami alih fungsi akhirnya menjadi malfungsi. Hutan yang awalnya berfungsi sebagai paru-paru dunia, rumah bagi kekayaan hayati, suaka margasatwa, pencegah banjir dsj akhirnya berubah menjadi mesin pembunuh massal. Salah mindset inilah yang sebenarnya adalah hakikat bencana itu sendiri. Dan ketika mindset salah seperti ini  merata di benak para elite pemimpin dan rakyat negeri ini, maka itulah yang terdefinisikan sebagai Bencana Nasional. Dan jika hal itu sudah terjadi maka tidak ada jalan lain untuk memperbaiki negeri ini dari hulu sampai hilir melainkan dengan taubat nasuha massal. 

Di zaman para Salaf Soleh terdahulu masyhur dikisahkan bagaimana mereka selalu menyalahkan diri atau paling tidak selalu menganggap dirinya adalah biang kerok turunnya bencana di lingkungan sekitarnya. Hal ini artinya mereka melihat bahwa dirinya adalah orang yang banyak salah dan dosa hingga merasa seakan-akan pantas jika Allah menurunkan bala' atas dirinya. Salah satu contoh adalah “Syekh Atha’ al-Salami (Tabi'in junior Kota Basrah). Dimana saat penduduk negerinya tertimpa bencana, beliau berkata,

“(Bencana) ini disebabkan karena dosa Atha’. Andai ia keluar dari negerinya, niscaya bencana tidak akan menimpa mereka.” (Abdul Wahhab al Sya’rani, Tanbih al Mughtarrin, Kairo: Maktabah at-Taufiqiyyah, tth. Hal 87)

Mindset seorang Tabi'in (murid para Sahabat Nabi) sekelas Syekh Atho' Al Salami yang Alim, Amil, Zuhud, dan Sholeh namun masih merasa diri banyak dosa adalah contoh akhlak para Salaf Soleh yang berbeda jauh dengan umat zaman ini. Dimana segala kesalahan diri dan dosa selalu dilakukan setiap hari namun ironisnya memandang dirinya sebagai manusia suci yang selalu merasa aman dari hukuman Allah. 

Sebagai penutup akhir tahun, marilah berbagai peristiwa dan bencana yang melanda negeri ini dalam waktu setahun ini kita jadikan ibrah. Mari meraba diri dan melakukan koreksi, introspeksi, dan evaluasi  agar ke depannya menjadi lebih baik lagi. Dan inilah resolusi sejati, yakni mau mengakui kesalahan dan bisa belajar dari kesalahan diri sendiri untuk menjadi lebih baik. Wallahu A'lam Bis Showab.

BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama