Harian Kompas (21/11/2013) melansir sebuah berita mengenai ditemukannya bangkai kapal selam Jerman di wilayah perairan Taman Nasional Karimunjawa. Bangkai kapal Selam jenis U-Boat (Unterseeboot) bernomor U-168 itu ditemukan sekitar 96 kilometer dari Karimunjawa pada kedalaman 19 meter di bawah laut. Temuan ini berawal dari laporan para penyelam lokal tahun lalu.
Menurut Literatur pemerintah Jerman, pada masa PD II memang ada 2 kapal mereka yang tenggelam di perairan Indonesia. Dua kapal selam itu adalah Kapal U-168 yang tenggelam pada tahun 1944 dan Kapal U-183 pada tahun 1945. Seturut data misi U-Boat, armada kapal selam Jerman pernah berada di perairan Laut Jawa, Laut Australia, dan Samudera Hindia dalam misi persekutuan Jepang-Jerman dalam menghadapi tentara Sekutu saat itu. Bambang Budi Utomo, Ketua Tim Peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional (Pusarnas), mengatakan bahwa kapal tersebut tenggelam akibat terkena Torpedo. Hal ini dibuktikan dengan adanya lubang bekas torpedo di ruang kontrol.
Selain penemuan besar berupa bangkai kapal selam, ditemukan juga sejumlah artefak seperti piring makan, cangkir, kacamata, teropong, aki, dan alat selam. Sebagai tambahan info dari Pusarnas, Jerman pada masa itu ternyata memiliki pangkalan di Pulau Penang Malaysia, Jakarta, dan Surabaya. Dari penemuan ini ada sebuah tanda tanya besar dan menarik untuk ditelusuri. Yakni mengenai adakah keterkaitan dan peran NAZI Jerman dalam sejarah awal terbentuknya Negara Indonesia. Karena kapal U-Boat ini diduga kuat adalah kapal perang milik NAZI Jerman. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya simbol NAZI berupa lambang burung mencengkeram lambang Swastika khas NAZI di bagian dasar piring makan yang ditemukan oleh Pusarnas.
Tentara NAZI Dan Indonesia
Friedrich Helfferich adalah seorang pengusaha manufaktur terkenal asal Jerman. Dia memiliki empat orang anak. Yang sulung bernama Karl Helfferich, seorang mantan Deputi Perdana Menteri selama masa kekaisaran Jerman. Dua anak lainnya adalah Theodore dan Emil Helfferich yang mengikuti jejak ayahnya sebagai pengusaha. Emil telah meninggalkan Jerman sejak tahun 1899 untuk berlayar ke Sumatera dan Batavia untuk berdagang lada. Bersama saudaranya, Theodore, dia membeli lahan perkebunan teh seluas 900 hektar di Cikopo, kaki Gunung Pangrango, Jawa Barat. Mereka membangun pabrik teh pribadi yang dilengkapi dengan kabel pengangkut untuk membawa daun teh dari perkebunan langsung ke pabrik.
Suatu hari kabar kematian sahabatnya, Admiral Graf Spee, terdengar oleh mereka. Admiral Graf Maximillian Von Spee adalah pemimpin Armada Tempur Angkatan Laut Jerman untuk Asia Timur. Pada musim panas tahun 1914 armada yang terdiri dari 15 kapal tempur dengan berbagai jenis itu berangkat dari galangannya menuju Tsingtao di daerah Kiaochow yang merupakan daerah koloni Jerman di Cina sejak 1897. Di tengah perjalanan, armada ini bertemu dengan armada tempur Inggris di dua tempat. Di dekat kepulauan Malvinas di Samudera Atlantik dan di perairan Coronel di dekat Chile di Samudera Pasifik. Pertempuran hebat pun tidak dapat dihindarkan. Dalam pertempuran di Coronel, armada Jerman berhadapan dengan kapal penjelajah Inggris HMS Good Hope dan HMS Monmouth yang juga didukung 2 kapal perang lainnya (Otranto dan Canopus). Namun Jerman ternyata mampu menenggelamkan kapal-kapal Inggris itu. Sedangkan pertempuran di dekat Kepulauan Malvinas, Jerman kalah. Empat kapal Jerman berhasil ditenggelamkan. Dan di sini pulalah Admiral Graf Spee dan ratusan anak buahnya menemui ajalnya.
Dan untuk menghormati jasad sahabatnya itu, Emil dan Theodore kemudian membangun sebuah monumen peringatan sederhana setinggi tiga setengah meter yang terletak di atas sebidang tanah yang memiliki sejarah panjang dan khusus. Luasnya sekitar tiga ratusan meter persegi dan dikelilingi empat pohon beringin yang sudah berusia ratusan tahun, ratusan arca menhir kecil-kecil berbentuk patung manusia dan binatang berserakan di atasnya. Masyarakat setempat menyebut lahan itu sebagai Arca Domas. Dalam bahasa Sanskrit, Arca Domas berarti “Arca Dua-Omas” atau “Patung Delapan Ratus” buah.
Satu Omas adalah empat ratus buah. Wilayah ini dahulu dipenuhi arca kecil dan disucikan sejak zaman pra Hindu-Budha. Dan sejak 1928 perkebunan teh di Cikopo tersebut menjadi tanggung jawab Albert Vehrings, yang ditunjuk sendiri oleh Helfferich bersaudara. Vehrings ditugasi mengepalai seluruh manajemen perkebunan teh itu karena dia memang sangat berpengalaman dalam mengelola perkebunan teh di New Guinea. Dan berdasar beberapa data, disebutkan bahwa kompleks makam tentara NAZI atau Deutscher Soldatenfriedhof juga berada di tempat ini.
Kompleks itu dibangun setelah Perang Dunia II. Ketika perang dunia II pecah, NAZI menginvasi Belanda pada 10 Mei 1940. Dan sebagai balasannya, pemerintah kolonial Hindia Belanda di tanah Jawa dan nusantara melakukan penangkapan terhadap orang-orang Jerman. Tak kurang sekira 2.436 orang Jerman ditangkap. Perkebunan teh Cikopo pun juga disita. Dan dalam tragedi KPM Van Imhoff yang menewaskan ratusan tawanan, albert Vehrings ternyata berhasil lolos menuju ke Nias, Sumatera. Namun tak lama kemudian dia dan beberapa tawanan berhasil ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke ibukota Gunung Sitoli. Mereka ditempatkan di Penjara Polisi yang dijaga oleh aparat dari Belanda dan Indonesia. Setelah Vehrings dapat lolos karena kerjasamanya dengan polisi Indonesia yang menjaga sel nya, dia bekerja kepada Jepang saat negeri Samurai itu menjajah Indonesia. Vehrings bekerja membuat senapan serta menjadi insinyur di Singapura.
Selama tiga setengah tahun Jepang menjajah Indonesia, armada kapal selam Jerman wira-wiri dari Jerman ke Indonesia, terutama di pangkalan Tanjung Priok dan Surabaya. Dalam kurun waktu ini juga sering ada Audiensi antara komandan Jerman dan Jepang di villa milik Helfferich di Perkebunan Teh Cikopo, Bogor. Lokasi ini pada akhirnya dipakai sebagai tempat peristirahatan para marinir NAZI saat mendarat di Jakarta. Oleh para tentara NAZI, perkebunan teh di Cikopo termasuk di dalamnya Arca Domas itu disebut sebagai U-Boots Weide atau padang rumput untuk kapal selam. Dan fakta ini menjadi benang merah dengan berita ditemukannya beberapa bangkai kapal selam NAZI beberapa waktu lalu yang dibahas di awal tulisan ini.
Tanggal 8 Mei 1945 Jerman menyerah kalah dalam perang melawan sekutu. Dan ratusan tentara laut Jerman yang sedang berada di perkebunan teh Cikopo turut mendengar berita itu. Kemudian Laksamana Maeda membujuk Komandan Pangkalan Jerman di Jakarta, Mayor Angkatan Laut Dr. Kandeler untuk bersama Jepang melanjutkan perang melawan Sekutu di Pasifik. Namun ajakan itu ditolaknya. Dan selanjutnya kebanyakan tentara NAZI itu memilih tetap tinggal di perkebunan teh Cikopo yang sejuk itu. Mereka dalam pemeliharaan Vehrings. Mereka juga menanggalkan seragam NAZI.
Dan pada 15 Agustus 1945 Jepang akhirnya menyerah kepada Sekutu. Usailah perang dunia II. Malam hari menjelang 17 Agustus 1945, Soekarna dan Hatta membuat tulisan tangan untuk teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Pagi harinya teks tersebut hendak diketik. Namun mesin ketik Jepang di rumah Laksamana Maeda itu hanya menyediakan huruf Kanji Jepang. Maka Maeda mengutus sekretarisnya, Satzuki Mishima, dengan Jeep menuju Kantor Komandan Angkatan Laut Jerman, Mayor Angkatan Laut Dr. Kandeler, untuk meminjam mesin ketik milik NAZI Jerman di kantornya. Dan dengan mesin ketik NAZI itulah Sajuti Melik mengetik teks proklamasi bangsa Indonesia. Mesin ketik itu kini disimpan di Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Pada awal September 1945, satu resimen Ghurka-Inggris menemukan ratusan mantan tentara NAZI di Arca Domas Cikopo. Dengan sangat terkejut, akhirnya para eks Kombatan NAZI itu dimuat dengan 50 truk bak terbuka milik Jepang menuju Bogor.
************
Sekarang, meski perang telah lama usai, Organisasi Perawatan Taman Makam Pahlawan Jerman tetap tidak bisa membeli Arca Domas yang merupakan kuburan para tentara NAZI itu. Karena peraturan pemerintah Republik Indonesia tidak membolehkannya. Kedubes Jerman hanya mendapat hak guna untuk merawat kompleks pemakaman Tentara NAZI di Arca Domas itu.
Sebelum menutup tulisan ini, ada fakta menarik yang tidak boleh kita abaikan. Di samping fakta adanya keterkaitan sejarah juga peranan NAZI dalam awal pembentukan bangsa ini. Juga penting dicatat bahwa pembangun awal kompleks pemakaman tentara NAZI itu adalah Helfferich bersaudara. Dua bersaudara yang menjadi Proxy dua dedengkot legendaris Zionis Internasional, Rotschild dan Rockeffeler kepada Heinrich Himmler dan juga Adolf Hitler. Ini membuktikan bahwa sejak lama -bahkan sebelum NKRI terbentuk- gerakan Zionis Internasional telah "bermain" di negeri ini. Entah itu secara langsung maupun secara tak langsung melalui agen-agen mereka. Dan mengerikkannya hal itu mereka lakukan hingga detik ini. Wallahu A’lam. (Senyapena).
Bahan Referensi :
Harian Kompas, 21/11/13
Eramuslim Digest, edisi koleksi XI, Misteri Besar Di Indonesia
NB : Diedit Ulang Dari Tulisan Lama Kami di Blog Kami Yang Pertama 👇
https://musyafucino.wordpress.com/2014/01/17/indonazia/#more-1102