Catatan Ringan di Hari Kemerdekaan Indonesia
Oleh : Muhammad Syafii Kudo
Konon Bung Karno pernah berujar, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa kalian sendiri." Adagium yang masyhur dikutip di berbagai sticker untuk kendaraan, sablonan kaos dan mural di tembok-tembok terbengkalai dan kolong jembatan itu nyata benar untuk menggambarkan keadaan negeri yang diproklamirkannya bersama bung Hatta tersebut.
Mengapa dikatakan melawan bangsa sendiri? Sebab fakta benderang menunjukkan bahwa yang menyengsarakan rakyat Indonesia hari ini memang sesama anak bangsa sendiri. Yakni anak bangsa yang berwatak serakah khas kolonialis dahulu kala. Mereka adalah para elite penyelenggara negara yang uniknya tidak mau jika diungkap kejahatannya, artinya harus disematkan kalimat oknum jika hendak membahas kejahatannya. Meskipun ironisnya para oknum itu bukan berjumlah satu, dua, atau tiga orang namun kian merata mendominasi dan sialnya menduduki posisi strategis di berbagai lini pemerintahan.
Dengan posisi tinggi itu mereka mengadakan pemufakatan jahat guna memperkaya diri dan keluarganya masing-masing meski harus menumbalkan jutaan rakyat arus bawah dan kepentingan negara. Atas nama kepentingan negara, undang-undang disusun sedetail mungkin untuk menarik cuan dari rakyat. Leadership yang seharusnya dijalankan nyatanya di lapangan berubah jadi Dealership belaka. Pemimpin yang harusnya melayani rakyat malahan berubah jadi layaknya Dealer yang melayani kepentingan korporasi dan konglomerasi dalam rangka menarik cuan sebanyak-banyaknya dari rakyat lewat kebijakan-kebijakan yang merugikan namun dipoles ciamik supaya terlihat konstitusional di mata hukum.
Lihatlah, di masa kemerosotan ekonomi saat ini, ndilalah Lembaga yang bertugas mengeluarkan Data "resmi" yang berkaitan dengan statistik menyatakan bahwa tingkat kemiskinan turun dan ekonomi kian membaik. Padahal belum lama sekali telah viral di media sosial muncul julukan baru bagi masyarakat menengah ke bawah yakni Rojali dan Rohana ketika mereka jalan-jalan ke berbagai pusat perbelanjaan. Rojali adalah akronim dari Rombongan Jarang Beli dan Rohana adalah singkatan dari Rombongan Hanya Nanya. Dua julukan itu muncul karena keadaan ekonomi tidak "sebaik-baik saja" seperti yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik kemaren. Masyarakat kian hati-hati dalam mengeluarkan isi dompetnya dan biasanya baru lumayan royal ketika tiba tanggal cantik dimana nomor tanggal dan bulan sama di almanak karena itu alamat adanya diskon besar-besaran di dua saluran belanja daring paling terkenal di negeri ini. Dan siklus ini nampaknya masih akan terus terjadi hingga menjadi habit (kebiasaan) masyarakat Indonesia ke depannya.
Dari berbagai laku keculasan para elite negeri selama ini mulai dari Mega Korupsi jutaan triliun, kongkalikong para elite partai politik serta jual beli keadilan hukum, masyarakat nampak bisa bersabar, dan paling banter cuma bisa nggrundel di media sosial. Dan itupun kadang masih dibuat guyonan ala satire. Namun diam itu bukan berarti padam. Dan elite negeri ternyata tidak memahami hal ini yang dibuktikan dengan kian ngelunjaknya mereka dalam membuat peraturan yang semakin mencekik rakyat. Dan bara yang tak padam itu (yang awalnya terlihat diam) akhirnya menyala akibat dipantik oleh ketidakpuasan rakyat. Pelan-pelan muncul fenomena pengibaran bendera bajak laut bertopi jerami di serial anime One Piece yang sempat membuat gerah beberapa petinggi negara. Fenomena itu adalah bentuk kritikan sosial rakyat arus bawah terhadap ketidakadilan yang makin nyata di negaranya.
Belum selesai di situ, kegeraman rakyat kian memuncak kala "negara" dianggap semakin liar dalam mengambil uang masyarakat. Pemblokiran jutaan rekening yang dianggap nganggur, kemudian muncul wacana tanah nganggur akan diambil negara, dan puncaknya juga adalah kenaikan pajak yang tidak masuk akal sehingga muncul bentrokan keras guna menolaknya seperti yang terjadi di Pati Jawa Tengah dan mulai merembet ke beberapa daerah lainnya. Semua itu kian benar menunjukkan bahwa musuh bangsa Indonesia hari ini adalah sesama anak bangsa sendiri yang keserakahannya melebihi keserakahan kolonialis dahulu kala. Nah, jika gejolak di bawah seperti ini tidak diperhatikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya oleh para pengambil kebijakan negara, dikhawatirkan ada gesekan sosial yang lebih besar lagi di tengah masyarakat. Padahal bangsa ini punya ingatan kuat akan berbagai kerusuhan sosial yang pernah terjadi yang memakan banyak korban jiwa sesama anak bangsa. Dan pastinya semua elemen bangsa tidak mau hal itu terulang kembali. Maka penegakkan keadilan setegak-tegaknya tanpa pandang bulu adalah harga mati demi terjaganya persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa. Dan agar masyarakat masih bisa menjaga kepercayaannya kepada para wakil rakyat mereka di gedung-gedung pemerintahan. Supaya tidak ada susupan dari pihak-pihak yang ingin menyusup guna merusak persatuan dan kesatuan Indonesia sehingga Indonesia akhirnya bisa dibubarkan.
Mari jadikan berbagai kegaduhan yang terjadi belakangan ini sebagai bahan perenungan di bulan peringatan kemerdekaan Indonesia ini. Seyogyanya semua anak negeri saling introspeksi diri. Inikah Indonesia yang diinginkan oleh para pendahulu dan pendiri Republik ini. Apakah merdeka itu hanya slogan belaka, atau cuma pekikan menggelegar khas Soekarno yang diputar di panggung agustusan setiap tahun? Dan lebih dalam lagi benarkah kita sudah merdeka? Jika melihat para oknum penyelenggara negara yang harusnya jadi panitia kesejahteraan rakyat (menurut bung Hatta) malah jadi penjahat berdasi penjajah rakyat? Benarkah kita sudah merdeka? Jika masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan seolah tidak dilihat oleh "negara". Padahal persoalan kemiskinan yang masih mendera Indonesia hingga saat ini juga menjadi kekhawatiran para pendiri bangsa dahulu kala. Dalam sidang perumusan dasar negara yang diselenggarakan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, persoalan kemiskinan dan kesejahteraan menjadi usulan yang turut diulas.
Persoalan ini turut dikemukakan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Pidato Bung karno tersebut dapat ditelusuri dalam buku "Menemukan Kembali Api Pancasila Melalui Pidato-pidato Bung Karno (2023)" yang ditulis oleh Aris Heru Utomo dkk dan diterbitkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Dalam pidato yang kemudian menjadi penanda lahirnya Pancasila ini, Soekarno mengemukakan cita-cita bahwa Indonesia harus bebas dari kemiskinan. Dalam rumusannya tentang sila keempat, kesejahteraan, Bung Karno menyatakan, "tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka". Menurut Soekarno, kemerdekaan Indonesia harus berpegang pada cita-cita kesejahteraan. Kemiskinan harus menjadi persoalan yang dipikirkan secara bersama untuk dapat dihapuskan dalam alam kemerdekaan Indonesia.
"Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalnya merajalela? Ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara?" kata Bung Karno dalam pidatonya.
Akhirnya, catatan ini hanya coretan sederhana belaka. Yang pasti, meminjam kalimat Chairil Anwar, "Sekali merdeka sudah itu mati." Dirgahayu Indonesiaku, jadilah Negeri Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur, Insyaallah Amin. Wallahu A'lam Bis Showab