Walisongo dan Proses Islamisasi di Kepulauan Nusantara

Walisongo Dan PROSES ISLAMISASI Di KEPULAUAN NUSANTARA 

Oleh: Dr. Kholili Hasib

Ketika Islam berkembang di kepulauan Indonesia, para muballigh Walisongo melakukannya dengan pendekatan tradisi, kultural, dan tasawuf. Islam yang dibawa oleh para da’i tersebut bercorak Sunni Syafi’i. Ternyata pendekatan ini berhasil. Prosesnya yang berlangsung secara gradual dan bertahap mampu mengislamkan kepulauan Nusantara, hingga berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang menerapkan hukum Islam berdasarkan madzhab Syafi’i.

Para Walisongo yang mengislamkan Indonesia itu adalah keturunan Arab Selatan. Bahkan  dari Bani Alawiy. Leluhurnya yang bernama Sayyid Abdul Malik Khan di India nasabnya bersambung hingga Sayid Ahmad bin Isa al Muhajir. Sejarah mencatat secara mutawatir. 

Islamisasi  dilakukan  Walisongo dengan cara sistematis terencana. Metode dakwah  melalui pendekatan khusus  dengan penduduk setempat ternyata sangat efektif dalam mengislamkan kepulauan Nusantara. Sunan Ampel misalnya ketika datang dan dakwah di Surabaya ditanya orang tentang identitas, beliau menjawab, "Kawula tiyang Jawi " (Saya adalah orang Jawa). Sunan Bonang konon berkontribusi memasukkan istilah istilah penting Islam berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa melalui karya-karyanya. 

Pengaruhnya melekat sampai pandangan hidup itu tidak mudah lepas. Dari segi aliran keagamaan, perilaku, bahasa  hingga politik. Hamid al-Ghadri berpendapat, bahwa raja-raja Islam atau sultan di kepulauan Nusantara zaman dahulu banyak yang memiliki darah keturunan Bani Alawiyyin karena hubungan keturunan Arab dan pribumi telah menyatu selama berabad-abad sebelumnya. Sejak Walisongo hingga berdiri kesultanan  Islam. 

Tradisi tersebut diwarisi turun-temurun hingga era kejayaan kerajaan Islam. Sebagai contoh, keluarga Kesultanan Pontianak memakai marga al-Qadri, yang tidak lain marga keturunan Arab dari kalangan habaib. Di Riau terdapat kesultanan Siak yang keluarga kesultanannya bermarga bin Shahab. Juga marga kalangan habaib. Begitu pula, kesultanan-kesultanan lainnya misalnya Cirebon, Banten, Demak, Jepara dan lain-lain. Jika dibaca dari sejarah berdirinya, kesultanan-kesultanan tersebut berdiri tidak dengan kekuatan senjata (Hamid al-Ghadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah, hal.39).

Bahkan menurut Hamid al-Ghadri, karena begitu lama dan dalamnya penyatuan itu, zaman sebelum penjajahan, keturunan Arab disebut juga pribumi. Pada masa kolonial, sejumlah tokoh Arab mengajukan permintaan kepada Belanda agar dikeluarkan surat resmi bahwa mereka adalah pribumi, sebab lahir mereka di Jawa.  Usul ini ditolak pemerintah kolonial. Justru Belanda melakukan politik pemisahan antara Jawa Muslim dengan keturunan Arab, Cina dan India. Bahkan, kampung pun dipisahkan oleh Belanda. 

Pasca Walisongo, gelombang kedatangan muballigh Islam datang silih berganti dari Jazirah Arab Selatan. Bahkan saat zaman kolonialisasi mereka tetap datang berdakwah. Dengan strategi yang kontekstual. Tentu banyak kendala ketika Jawa dikuasai bangsa Eropa.  Hal ini yang melahirkan banyak  strategi.

Jika di Jawa mereka tak segan memakai pakaian adat jawa, blangkon, batik dan lain-lain. Ada pula yang berdagang. Ada juga yang tetap dengan pakaian asal mereka. Namun ternyata semuanya berhasil mempertahankan ajaran walisongo.  Habaib zaman penjajahan berdakwah agar Jawa jangan sampai pindah kepada agama penjajah (murtad) tetapi tetap dengan ajaran Walisongo. Ternyata berhasil. Walau pun kendala luar biasa. 

Jika bangsa India dan Cina di Jawa fokus untuk berdagang, maka keturunan Arab lebih banyak fokus berdakwah sambil berdagang. Faktor ini yang menyebabkan kedekatan khusus orang Jawa dengan keturunan Arab. Orang Jawa lebih mudah didekati melalui kultur, hati dan teologi. Daripada didekati secara ekonomi. 

Pendekatan yang digunakan muballigh itu menunjukkan, bahwa Islamisasi kepulauan Nusantara dilakukan dengan cara yang efektif dan damai. Mereka melakukannya dengan mengislamkan terma-terma atau bahasa yang digunakan. Prof. Syed Naquib al-Attas mengatakan Islam datang ke Nusantara yang dibawa langsung dari Hadramaut telah mengubah pandangan hidup masyarakat secara kuat melalui bahasa.

Bahasa Melayu yang menjadi bahasa pemersatu Muslim kepulauan Nusantara zaman dahulu banyak menyerap dari istilah-istilah bahasa Arab. Misalnya, kata akal, musyawarah, mukadimah, adil, adab, dan lain-lain. Dikenal pula di sini jenis tulisan Arab-Melayu yang sering disebut tulisan Pegon (pego). Jenis tulisan ini populer di pesantren tradisional yang diajarkan berabad-abad lamanya, sejak kedatangan Islam. Namun, sayang jenis tulisan ini tidak lagi populer di Indonesia – hanya dikenal oleh anak-anak Pesantren.

Bisa jadi sukses besar itu dapat dipahami karena karakter pendakian dari Jazirah Arab  zaman itu memang senang berpetualang, sufi, berakhlak luhur,  dan mudah menyatu dengan penduduk asli. Nyatanya, pendekatan akhlak dan tasawuf tersebut sangat diminati penduduk kepulauan Nusantara. 

Ahmad al-Muhajir leluhur Walisongo dan habaib asalnya dari Basrah Irak kemudian pada abad ke-10 M hijrah ke Hadramaut karena menghindar gejolak fitnah yang tidak pernah padam di Irak, diantaranya fitnah kaum Qaramithah – sebuah sekte Syiah Ismailiyah yang dikenal kejam dalam membunuh. Dalam hal ini al-Syilli menulis: “Berkat hijrah tersebut selamatlah keturunan Imam Ahmad bin Isa dari berbagai bid’ah dan kegelapannya serta dari kecenderungan untuk mengikuti Rafidhah yang telah merusak warga Irak (Novel bin Muhammad Alaydrus, Jalan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi, hal. 36). Al-Syilli juga memberi kesaksian bahwa Ahmad bin Isa ini di Hadramaut mengajarkan madzhab Syafi’iyah kepada anak keturunannya. Di Hadramaut beliau diterima dengan baik oleh penduduk asli dengan mengajarkan akhlak yang luhur dan tasawuf.

Dari keturunan Ahmad al-Muhajir ini menurunkan banyak muballigh yang menyebarkan Islam ke India, Afrika dan Asia Tenggara. Di antarnya adalah Abdul Malik – keturunan ke-7 Ahmad al-Muhajir yang menetap di India. Abdul Malik inilah yang menurunkan leluhur Walisongo, seperti Syaikh Jumadil Kubro (Ibrahim Zain al-Akbar) yang merupakan keturunan dari Abdul Malik.

Di India, Abdul Malik juga menurunkan raja-raja Muslim India seperti sultan Syah Jihan, sultan Ibrahim Adil Syah, sultan Mahmud bin Ibrahim Syah, Amir Habas Khan dan lain-lain. Semua nasab sultan ini sambung kepada kerabat-kerabat kaum Alawiyin keturunan Abdul Malik (Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal. 152).

Hal ini menunjukkan bahwa, di mana-mana muballigh dari kaum Alawiyyin ini tidak menemui kesulitan dalam menyatu dengan pribumi. Semua gerak dakwah dan pendirian kerajaan tidak didahului oleh peperangan. Sampai saat ini di provinsi Kerala India Selatan masih banyak ditemui keturunan habaib, dan tradisi Sunni-Syafi’i masih dipelihara dengan baik oleh komunitas Muslim di sana. Bahkan di provinsi ini 90 % menganut madzhab Syafi’i. Ini berkat jasa Abdul Malik, yang menjadi benteng pertama Ahlussunnah di India.

Jika di India terdapat Abdul Malik, maka di Indonesia terdapat Syaikh Ibrahim Zain al-Akbar – yaitu ayah dari Sunan Ampel. Syaikh al-Akbar mewarisi corak dakwah leluhurnya yakni dengan pendekatan tasawuf dan akhlak dengan mendekati kaum pribumi dengan tetap mempertahankan pandangan hidup madzhab Sunni Syafi’i.

Islamisasi dengan pendekatan tersebut menghasilkan dakwah yang luar biasa. Selama berabad-abad sejak kerajaan Demak dan di sebagian besar wilayah Indonesia diterapkan hukum Islam. Baru sampai abad ke-19 syariat Islam itu dihapus oleh penjajah Belanda.

Di paruh awal penjajahan, VOC masih mengakui syariat Islam untuk kaum Muslimin di Jawa. Eksistensi hukum Islam diakui undang-undang Belanda seperti tercantum dalam Pasal 75 R.R (Regeringsreglement) 1855:2 ayat 2 disebutkan, “oleh hakim Indonesia hendaklah diperlakukan undang-undang agama (Goldsdientstigewetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu. Kemudian ayat 4 berbunyi, “undang-undang agama, instelling dan kebiasaan itu jugalah yang dipakai untuk mereka” (Artawijaya,Dilema Mayoritas, hal. 275).

Pada tahun 1882 di Jawa dan Madura dibentuk pengadilan Agama yang memiliki wewenang mengatur hukum Islam untuk kaum Muslimin wilayah itu. pengadilan agama ini masih diakui oleh Belanda.

Hukum Islam di kepulauan Indonesia telah berjalan berabad-abad lamanya. Ketika Kerajaan Mataram berkuasa di seluruh wilayah Jawa, kaum Muslimin menjadikan hukum Islam sebagai hukum adatnya. Karena telah lama berjalan berabad-abad lamanya, dahulu yang disebut hukum adat tidak lain adalah hukum Islam. Baru abad ke-19 Belanda melarang kaum Muslimin menerapkan syariat Agama kecuali untuk beberapa amalan saja. Kemudian Belanda membedakan antara hukum adat dan hukum agama.

Islam Sunni mengakar kuat berabad-abad lamanya sehingga meskipun Belanda menjajah selama 350 tahun. Jadi, dakwah muballigh Ahlussunnah di kepulauan Nusantara terbukti berhasil. Yang perlu diambil pelajarannya untuk konteks sekarang adalah, umat Ahlussunnah perlu ‘menyelamatkan’ pos-pos penting seperti tradisi dan tasawuf. Sebab pos inilah yang menjadi benteng Ahlussunnah di Nusantara. Kenyataannya, tradisi yang telah diislamkan muballigh itu menjadi lebih diterima. Wallahu A'lam Bis Showab.

*Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana di UII Dalwa Bangil dan Direktur Institut Peradaban dan Pemikiran Islam Surabaya (Inpas) 

BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama