Urgensi Taat Sanad Di Era Matinya Kepakaran
Oleh : Muhammad Syafii Kudo
Horeg adalah sebuah term yang berasal dari bahasa Jawa yang secara harfiah artinya bergerak dan bergetar hebat. Term horeg belakangan ini sedang ramai diperbincangkan oleh warganet. Yakni mengenai (setidaknya) dua fenomena besar yang sedang menjadi trending topik. Penulis memulai dengan kejadian yang terjadi di luar negeri tepatnya di Jepang dimana ada fenomena yang membuat "horeg" warga Jepang dan wisatawan yang hendak menuju ke negeri Matahari Terbit itu. Hal itu dipicu oleh sebuah komik manga viral berjudul The Future I Saw karya Ryo Tatsuki yang meramalkan bencana gempa bumi besar akan terjadi di Jepang hingga membuat sejumlah maskapai penerbangan membatalkan jadwal mereka ke negara itu. Rumor ramalan bencana itu bahkan dilaporkan sampai membuat jumlah wisatawan yang akan ke Jepang menurun drastis.
Manga yang pertama kali terbit pada tahun 1999 dan dicetak ulang pada tahun 2021 itu menggambarkan mimpi tentang gempa bumi besar dan tsunami yang akan melanda Jepang dan negara-negara tetangga pada Juli 2025. Dan menurut Reuters pada Jumat (4/7), rumor ramalan itu berdampak sangat signifikan.
Jepang memang layak untuk khawatir mengenai ramalan tersebut. Sebab Jepang adalah negeri yang berada di kawasan Cincin Api Pasifik yang berimbas pada seringnya negara tersebut mengalami gempa bumi dan tsunami. Terlebih lagi, edisi pertama manga tersebut juga sempat memperingatkan tentang bencana alam besar pada Maret 2011. Dan di bulan serta tahun yang sama dengan ramalan manga tersebut, secara kebetulan gempa bumi disertai tsunami benar-benar melanda Fukushima hingga memicu bencana nuklir yang melanda pantai timur laut Jepang dan menewaskan belasan ribuan orang. Dari sinilah sebagian warga Jepang akhirnya mempercayai "ramalan" komik tersebut dan bahkan beberapa orang akhirnya menafsirkan bahwa edisi terbaru manga itu meramalkan bencana besar akan terjadi pada 5 Juli 2025. Namun Ryo Tatsuki sang penulis komik membantah hal tersebut. Dan bantahan itu diperkuat oleh penyataan Robert Geller seorang profesor di Universitas Tokyo yang telah mempelajari seismologi sejak 1971. Pakar kegempaan itu mengatakan bahkan prediksi akan terjadinya gempa yang berbasis ilmiah sekalipun tidak mungkin dilakukan. Karena menurutnya selama puluhan tahun karirnya dia tidak menemukan satu pun prediksi mengenai gempa yang terbukti akurat.
Terlepas dari bantahan sang penulis komik yang mendaku dirinya bukan seorang peramal, yang jelas "fatwanya" telah membuat Jepang yang masyarakatnya terkenal dengan kecerdasannya itu "horeg" mengalami kepanikan akibat traumatis masa lalu mereka.
Kejadian "horeg" berikutnya adalah yang terjadi di Indonesia. Adalah Forum Satu Muharram 1447 Hijriah Pondok Pesantren (Ponpes) Besuk, Kabupaten Pasuruan, yang mengeluarkan fatwa bahwa sound horeg adalah haram. Dan hal itu ternyata diamini oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Hasil bahtsul masail tersebut bisa dipahami," ujar Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh kepada wartawan, Sabtu (4/7/2025). Ia menyebut aktifitas sound horeg bisa menimbulkan mudarat. Sehingga perlu ada fatwa yang tegas terkait sound horeg.
Sebelumnya, pengasuh Ponpes Besuk Pasuruan KH. Muhibbul Aman Aly menegaskan bahwa keputusan tersebut bukan semata-mata karena bisingnya suara, melainkan karena konteks dan dampak sosial yang melekat pada praktik sound horeg itu sendiri. Rois Syuriah PBNU itu mengatakan bahwa Forum Bahtsul Masail memutuskan perumusan dengan tidak hanya mempertimbangkan aspek dampak suara saja, tapi juga mempertimbangkan mulazimnya disebut dengan sound horeg bukan sound system, demikian seperti dikutip dari Instagram @ajir_ubaidillah, Senin (30/6/2025).
KH. Muhibbul Aman Aly juga menyatakan bahwa sound horeg di manapun tempatnya dilaksanakan, mengganggu atau tidak mengganggu, maka hukumnya adalah haram. Mengapa demikian sebab menurut beliau, sound horeg itu bukan melulu perihal alat pengeras suara an sich tapi sebuah perangkat kegiatan yang melibatkan beberapa aktivitas sekaligus seperti menyetel musik dengan suara melebihi batas. Kemudian disertai adanya wanita yang berpakaian seronok berjoget ria bercampur dengan laki-laki (ikhtilat) dan bahkan terkadang diarak berkeliling jalan dan kegiatan lain yang menyertainya. Di sini harus dapat dibedakan secara jelas antara definisi sound sistem dan sound horeg. Sebab fatwa haram mutlak itu khusus pada aktivitas sound horeg sebagai seperangkat aktivitas bukan menyasar pada alatnya yang di masyarakat disebut dengan sound sistem.
Dan seperti yang sudah diduga tidak sedikit kelompok masyarakat yang tidak terima dengan fatwa haram mutlak tersebut. Terutama para pemilik usaha sound horeg dan para penikmatnya yang didominasi oleh sebagian warga di dua kabupaten di selatan Jawa Timur dimana "budaya baru" ini diduga berasal. Di zaman yang menjunjung kebebasan berpendapat seperti saat ini, opini yang menolak fatwa haram itu sah-sah saja dilontarkan asal berlandaskan adab (etika) dan ilmu atau referensi tandingan seperti yang biasa dilaksanakan di forum Bahtsul Masail. Namun yang jadi masalah adalah para penolak fatwa itu tidak sedikit yang menggunakan kalimat bernada umpatan kotor dan hujatan kepada para Ulama (terutama dalam kasus ini adalah KH. Muhibbul Aman Aly) dan mirisnya pelakunya ada yang mendaku pernah nyantri dan dengan sok pintarnya mengaku tidak ada di dalam Al Qur'an disebutkan perkara sound horeg tersebut.
Terlepas dari berbagai hujatan yang terjadi, tugas para Ulama tetap kokoh mempertahankan fatwa tersebut karena fungsi Ulama memang menjaga akidah dan moral umat dan bahkan semua umat Islam juga diwajibkan melakukan amar makruf nahi mungkar jika melihat perbuatan dosa di depan mereka.
Disebutkan bahwa,
قَالَ مُوسَى بْنُ الزَّيْنِ: وَحَيْثُ ضَيَّقَ اللَّاعِبُونَ بِالْكُرَةِ وَغَيْرِهَا الطَّرِيقَ عَلَى الْمَارَّةِ، أَوْ حَصَلَ عَلَى النَّاسِ أَذًى بِفِعْلِهِمْ أَوْ صِيَاحِهِمْ يَمْنَعُهُمْ سُكُونَهُمْ بِنَوْمٍ وَنَحْوِهِ، أَوْ جُلُوسِ النَّاسِ بِأَفْنِيَتِهِمْ: لَزِمَ أَوْلِيَاءَهُمْ وَسَادَتَهُمْ – بَلْ كُلُّ مَنْ قَدَرَ – زَجْرُهُمْ وَمَنْعُهُمْ، وَمَنْ امْتَنَعَ عُزِّرَ، قَالَ: وَحَيْثُ رُفِعَ مُنْكَرٌ لِوَالٍ فَقَدَرَ عَلَى إِزَالَتِهِ فَلَمْ يُزِلْهُ: أَثِمَ
"Musa bin az-Zayn berkata, "Apabila para pemain bola atau permainan lainnya menyempitkan jalan bagi para pejalan kaki, atau perbuatan mereka atau teriakan mereka menimbulkan gangguan terhadap orang-orang, seperti menghalangi ketenangan mereka dalam tidur dan semacamnya, atau mengganggu orang yang duduk di halaman rumah mereka, maka wajib bagi para wali (orang tua/pengurus mereka) dan pemimpin mereka (atau bahkan setiap orang yang mampu) untuk mencegah dan melarang mereka. Barangsiapa yang tidak melarang, maka boleh dikenai hukuman ta‘zīr (hukuman edukatif dari penguasa)."
Lebih lanjut, Musa bin az-Zayn juga berkata, "Barangsiapa yang melihat kemungkaran, sedangkan ia mampu menghilangkannya dengan melaporkan kepada wali/penguasa tetapi tidak melakukannya, maka ia berdosa." (Syekh Abdullah bin Muhammad, Qolaidul Khoroid, [Beirut: Muasasah Ulumil Qur'an, 1990 M/1410 H], juz 2 halaman 356).
Dalam konteks yang hampir mirip, Hadratus Syekh Muhammad Hasyim Asy'ari pernah menulis kitab khusus untuk mengkritisi kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di zaman beliau dalam acara Maulid Nabi yang berjudul At-Tanbihat Al-Wajibat Li Man Yashna'ul Maulid Bil Munkarot. Di dalam kitab itu beliau menyatakan,
فَاعْلَمْ أَنَّ عَمَلَ الْمَوْلِدِ إِذَا أَدَّى إِلَى مَعْصِيَةٍ رَاجِحَةٍ مِثْلِ الْمُنْكَرَاتِ، وَجَبَ تَرْكُهُ، وَحَرُمَ فِعْلُهُ
"Maka ketahuilah bahwa apabila pelaksanaan Maulid Nabi menyebabkan terjadinya maksiat yang dominan seperti kemungkaran, maka wajib untuk ditinggalkan dan haram untuk dilakukan."
Selanjutnya, Kiai Hasyim merinci acara Maulid yang haram untuk dilakukan sekaligus dihadiri, karena memuat beberapa hal:
يَخْتَلِطُ فِيهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ، وَيَلْبَسُ فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ الشُّبَّانُ مَلَابِسَ النِّسْوَانِ فَيَحْصُلُ افْتِتَانُ بَعْضِ الْمُتَفَرِّجِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، وَتَقَعُ الْفِتْنَةُ فِي الْفَرِيقَيْنِ، وَيَثُورُ مِنَ الْمَفَاسِدِ مَا لَا يُحْصَى، حَتَّى أَدَّتْ إِلَى حُصُولِ الْفُرْقَةِ بَيْنَ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ، وَهَذِهِ مَفَاسِدُ مُرَكَّبَةٌ مِنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ مَعَ فِعْلِ الْمُنْكَرَاتِ
"Dalam perayaan itu, laki-laki dan perempuan bercampur baur. Pada sebagian waktu, para pemuda mengenakan pakaian perempuan, sehingga sebagian penonton—baik laki-laki maupun perempuan—menjadi tergoda. Akhirnya timbul fitnah dari kedua pihak, dan berbagai kerusakan pun meledak tak terhitung jumlahnya, hingga sampai menyebabkan perceraian antara suami dan istri. Ini semua adalah kerusakan-kerusakan yang muncul akibat perayaan maulid yang disertai dengan perbuatan-perbuatan mungkar." (Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari, At-Tanbihat Al-Wajibat Li Man Yashna'ul Maulid Bil Munkarot, [Jombang, Maktabah At-Turots Al-Islami, tt], halaman 19-20).
Jika acara Maulid Nabi yang pada dasarnya merupakan kegiatan Islami saja masih dijaga oleh para Ulama dari kemungkinan-kemungkinan kemungkaran yang coba menyusup, apatah lagi sound horeg yang bukan kegiatan keagamaan dan sedari awal kemunculannya sudah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat akibat kerusakan yang ditimbulkan (termasuk berpotensi mengkampanyekan normalisasi kerusakan asusila (amoral)) dengan adanya kegiatan joged campur laki-laki dan perempuan berpakaian seronok.
Karena Ulama menurut Imam Fudhail bin Iyadh Rahimahullah adalah bagaikan dokternya agama,
العالم طبيب الدين وحب الدنيا داء الدين
"Orang Alim (Ulama) adalah dokter (nya) agama dan cinta kepada dunia adalah penyakit (nya) agama"
Imam Al Washiti Rahimahullah mengatakan bahwa,
أرحم الناس العلماء، لخشيتهم من الله تعالى وإشفاقهم مما علمهم الله عز وجل
"Sosok paling penuh kasih sayang adalah Ulama, Karena (rasa) takutnya mereka kepada Allah dan kepedulian mereka terhadap apa yang telah Allah ajarkan kepada mereka"
Hujatan kepada para Ulama dari para pembela kemaksiatan di berbagai media sosial itu menandakan bahwa umat ini semakin dilanda kebodohan akut. Mereka menganggap bahwa mereka juga bisa menentukan hukum atau fatwa sendiri berdasarkan pengetahuan mereka terhadap berbagai fenomena yang terjadi. Dengan kata lain mereka menolak otoritas keilmuan. Inilah yang oleh Syed Muhammad Naquib Al Attas dinamakan gejala Loss Of Adab (Keruntuhan Adab) dimana salah satu cirinya adalah adanya kecenderungan masyarakat untuk menyamaratakan segala sesuatu. Pendapat pakar (ilmuwan) disamakan dengan pendapat kaum awam, misalnya. Syed Naquib Al Attas menyatakan,
“Penyamarataan yang saya maksudkan adalah penyamarataan setiap orang, dalam fikiran dan sikap, pada tingkat yang sama dengan tingkat orang yang menyamaratakan. Proses mental dan pengambilan sikap ini yang berpengaruh pada tindakan, dilakukan melalui dorongan pemimpin palsu yang ingin menghancurkan autoriti yang sah dan hierarki yang benar sehingga mereka dan orang yang sama dengan mereka dapat kekal, dan orang yang memberikan tauladan menurunkan orang yang besar ke tingkat yang lebih rendah, dan kemudian ke tingkat yang lebih rendah lagi."(Islam dan Sekularisme, hal 140-141).
Pernyataan Al Attas itu juga diamini oleh Tom Nichols dalam bukunya, Matinya Kepakaran (The Death Of Expertise). Dia menyatakan, "Demokrasi, dengan ruang publiknya yang berisik selalu mengundang tantangan terhadap pengetahuan yang telah mapan. Bukan hanya pengetahuan yang mapan saja, melainkan juga semua yang mapan." (Matinya Kepakaran (The Death Of Expertise), hal. 19)
Dalam tulisan ini, perkara kegempaan harusnya sudah mapan digawangi oleh para Seismolog namun nyatanya di lingkungan masyarakat cerdas sekelas Jepang pun "ramalan" seorang komikus juga bisa lebih didengar daripada pendapat para pakar gempa. Dan dalam kasus kedua (sound horeg), perkara mengganggu kenyamanan orang lain baik lewat perbuatan dan ucapan itu sudah jelas haram hukumnya. Bahkan dianggap bukanlah orang Islam manakala orang Islam lainnya tidak selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan sudah mapan pula hukumnya bahwa wanita membuka aurat itu haram. Wanita berjoget seronok di muka umum juga haram. Begitu pula wanita bercampur lelaki (ikhtilat) juga haram. Yang mana semua itu idealnya di sebuah masyarakat yang baik sudah tidak perlu ditanyakan lagi hukumnya apalagi sampai keluar fatwa. Artinya perkara semacam sound horeg ini, manakala sampai dibahas di sebuah forum fikih di lembaga otoritatif seperti Pondok Pesantren bahkan sampai menghasilkan fatwa haram adalah sebuah alarm bahwa masyarakat kita hari ini telah mencapai titik yang menghawatirkan. Sebab untuk perkara yang hukumnya sudah mapan (jelas haramnya) masih harus difatwakan. Dan itupun masih ditentang pula.
Fenomena seperti ini dengan cermat pernah dikaji oleh Alexis de Tocqueville, pengamat asal Prancis yang pada tahun 1835 menulis bahwa warga Amerika Serikat tidak benar-benar terpikat kepada para pakar atau kecerdasan mereka. Menurutnya orang Amerika hanya tertarik ke pemahamannya masing-masing. Menurut teori Tocquiville, ketidakpercayaan kepada otoritas intelektual telah berakar dalam sifat demokrasi Amerika. Ketika warga negara saling mengamati satu sama lain di posisi yang setara, mereka akan senantiasa kembali ke pemikiran mereka sendiri sebagai sumber kebenaran yang paling jelas dan dekat. Bukan saja kepercayaan terhadap orang ini atau orang itu yang dihancurkan, melainkan juga kecenderungan untuk mempercayai otoritas atau siapapun.(Ibid. Hal. 19-20)
Demokrasi kita diakui atau tidak adalah berkiblat kepada demokrasi Amerika Serikat, terlepas pendapat sebagian pengamat bahwa demokrasi Indonesia lebih liberal (kebablasan) daripada demokrasi Paman Sam. Maka yang terjadi di Amerika Serikat tentu terjadi juga di Indonesia. Dan dengan terbukanya arus disrupsi informasi yang semakin deras, cara berfikir masyarakat kita juga semakin berubah ke arah yang mengkhawatirkan dimana hal itu dibuktikan dengan dinobatkannya netizen Indonesia sebagai yang paling tidak sopan di Asia Tenggara berdasarkan laporan Digital Civility Index (DCI) oleh Microsoft pada 2020. Skor kesopanan Indonesia mencapai 76 poin, menurun 8 poin dari tahun sebelumnya, dengan skala 0-100 menunjukkan tingkat kesopanan digital. Meskipun tidak disebutkan sebagai yang paling jahat di dunia, posisi Indonesia di tingkat Asia Tenggara menunjukkan adanya masalah dalam kesopanan digital di kalangan netizen Indonesia.
Walhasil dari fenomena kasus ramalan gempa Jepang dan fatwa haram sound horeg ini kita bisa menarik pelajaran bahwa fenomena "Matinya Kepakaran" itu nyata adanya. Dan khusus bagi umat Islam, gejala itu juga menandakan semakin kuatnya Keruntuhan Adab (Loss of Adab) terjadi. Dan hikmah besarnya adalah umat Islam harus kembali kepada ilmu dan Ulama yang bersanad untuk menghadapi semua ini. Sebab umat ini dianugerahi keistimewaan yang tidak dimiliki umat lain, yakni Sanad.
يقول عبد الله بن المبارك: إن الإسناد من الدين، ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
"Imam Abdullah Ibnul Mubarak Rahimahullah berkata, Sesungguhnya Isnad itu termasuk bagian daripada agama. Seandainya tanpa ilmu sanad maka akan berkata siapapun tentang apa saja yang ia kehendaki"
Muhammad bin Sirin Rahimahullah berkata,
ﺇﻥ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺩﻳﻦ ﻓﺎﻧﻈﺮﻭﺍ ﻋﻤﻦ ﺗﺄﺧﺬﻭﻥ ﺩﻳﻨﻜﻢ
”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian.” [Muqaddimah Shahih Muslim]
Imam Sofyan Ats-Tsauri Rahimahullah berkata,
الإسناد سلاح المؤمن فإذا لم يكن معه السلاح فبأي شيء يقاتل
“Sanad adalah senjatanya orang-orang beriman. Apabila tidak ada senjata tersebut, lalu dengan apa mereka berperang?” [Jami Al-Ushul hal 109].
Ilmu Sanad inilah senjata orang beriman berperang melawan opini bodoh orang-orang jahil yang tidak sadar telah tenggelam dalam tipuan disrupsi informasi dan fatwa palsu para musuh-musuh Islam. Dan dengan patuh pada sanad maka akidah umat Islam di akhir zaman ini Insyaallah akan tetap selamat dan kokoh alias tidak "horeg" (goncang). Wallahu A'lam Bis Showab.