Komunisme Ajaran Penista Agama

Genealogi Kekerasan Dan Riwayat Penistaan Agama Oleh Kaum Komunis

Oleh : Muhammad Syafii Kudo*

Founding Fathers Of Communist

Marxisme lahir dari gua garba filsafat Barat yang memiliki pandangan positivistik dengan prinsip bahwa hakikat yang ada adalah materi, tidak ada roh dan tidak ada kehidupan sesudah mati, karena itu Marxisme melihat agama secara filosofis hanyalah khayalan dan secara sosial sebagai candu. 

Hal itu tentu berbeda dengan pandangan kaum agama manapun, bahwa dunia tidak hanya materi percaya adanya roh dan percaya adanya Tuhan, dan agama hadir untuk memberikan petunjuk dan tuntunan terhadap kehidupan sosial dan kerohanian. 

Perbedaan kepercayaan itu setelah Marxisme menjelma menjadi komunisme dan di Indonesia komunisme mengejawantah dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terstruktur, maka perbedaan prinsip itu di masyarakat menjadi benturan keras. Kaum beragama merasa berkewajiban memperkuat agama, sementara PKI berkewajiban mengikis habis segala bentuk kepercayaan agama. Dengan segala cara PKI menghina agama yang dianggap suci, serta merendahkan martabat tokoh agama yang menjadi anutan masyarakat.

Sunan Ampel bapak para Walisongo yang dihormati umat Islam se-Jawa bahkan se-Nusantara mendirikan sebuah masjid di kawasan Kembangkuning persis di jantung kota Surabaya. Mesjid tersebut dirawat dan dikeramatkan oleh umat Islam di Jawa hingga kini, mesjid tersebut digunakan sebagai pusat dakwah Islam dan aktivitas keagamaan lainnya. 

Sejak Pemilu 1955 posisi PKI Surabaya yang semakin menguat apalagi didukung sebagian aparat tentara. Dengan kekuatan yang ada itu, maka pada tahun 1962 gerombolan Pemuda Rakyat di dukung kawanan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia / Underbow PKI) yang garang menyerbu Mesjid keramat tersebut. Tempat suci itu diinjak-injak sambil menyanyi dan menari-nari menyanyikan lagu genjer-genjer. Bahkan mereka bermaksud mengubah masjid tersebut menjadi markas Gerwani.

Bagi Kader NU terutama Ansor dan umat Islam Surabaya pada umumnya tidak ada pilihan lain untuk menghadapi PKI yang sudah berani menodai mesjid yang suci dan dikeramatkan tersebut kecuali dengan jihad. Maka terjadilah benturan dua kekuatan sosial itu, tetapi karena jumlah pasukan NU lebih banyak akhirnya gerombolan PKI bisa diringkus dan diseret ke pengadilan.

Peristiwa itu segera menjadi pembicaraan yang meluas di kalangan umat Islam sehingga semakin meningkatkan kewaspadaan terhadap serangan PKI yang posisinya sangat kuat, beberapa aparat militer bahkan Bupati di kawasan Jawa Timur seperti Blitar, Trenggalek dan Banyuwangi telah direbut oleh PKI. Demikian juga birokrasi pemerintahan makin banyak disusupi PKI.

Peristiwa tragis berikutnya menimpa seorang muballigh kondang KH. Djufri Marzuqi di Pamekasan Madura 27 Juli 1965, kiai kharismatik itu ketika hendak memberikan ceramah dalam pengajian umum ditikam oleh anggota PKI saat dalam perjalanan menuju tempat pengajian. 

Tentu saja pembunuhan kiai itu menyulut kemarahan masyarakat Madura dan Jawa timur pada umumnya. Bahkan saat peringatan 40 hari wafatnya, KH Idham Cholid Ketua Umum PBNU datang dari Jakarta untuk memberikan rasa simpati dan sekaligus memberikan gelar tokoh ini sebagai Syahidul Kabir (Syuhada Agung). Kehadiran Idham Cholid itu mereka baca sebagai bentuk memberikan semangat untuk melakukan perlawanan. Dan kehadiran yang diliput media itu menjadikan kasus Madura ini sebagai isu Nasional.

Penodaan agama juga terjadi di Malang 1965 saat Karim DP, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang berideologi PKI itu memberikan ceramah di hadapan pimpinan PKI Malang dengan mengatakan bahwa kaum beragama terutama Kiai adalah termasuk kelompok borjuis feodal, musuh golongan proletar, karena itu PKI akan selalu berhadapan dengan kelompok agama, terutama para kiai. 

Ketika kelompok Pemuda Ansor Malang mendengar pidato Karim DP yang menjelekkan kiai sebagai kelompok feodal borjuis yang harus diganyang itu, mereka langsung menyerbu pertemuan PKI tersebut dan berusaha menemui Karim DP, tetapi usaha GP Ansor tersebut dihadang oleh Pemuda Rakyat PKI, maka terjadilah perkelahian antar pemuda NU dan pemuda PKI.

Untuk memperkuat perjuangannya itu PKI semakin mengaktifkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai ujung tombak perjuangan. Lekra berhasil menguasai berbagai kesenian rakyat seperti Ludruk, Ketoprak, Reog dan sebagainya.

Sekitar 15 Januari 1965 Ludruk Lekra membuat pementasan di Prambon dengan lakon Gusti Alah Dadi Manten (Allah Menjadi Pengantin). Pementasan yang menghina agama Islam tersebut langsung digerebek oleh pasukan Banser sehingga pertunjukan itu bubar dan pemainnya dihajar oleh Banser.

Rupanya Lekra di tempat lain juga melakukan hal yang sama, seperti di Kecamatan Kampak Trenggalek Jawa Timur dimana mereka menyelenggarakan pertunjukan tayuban di halaman masjid pada hari Jum’at. Mereka ini sudah tidak bisa diperingatkan, bahkan saat mau dilaksanakan sembahyang Jum’at pertunjukan terus dijalankan dengan dihadiri penuh oleh penonton yang memenuhi halaman masjid, maka akhirnya terpaksa kelompok Islam mengalah dan terpaksa menyelenggarakan sembahyang Jum’at di masjid lain. Hal itu membuat kalangan umat Islam khususnya NU sangat prihatin karena tidak lagi bebas menjalankan ibadah.

Setelah itu mereka mementaskan ketoprak dengan lakon Rabine Gusti Alah (Perkawinan Gusti Allah) di Kecamatan Kampak. Rupanya pihak NU terutama Pemuda Ansor tidak tinggal diam, terus mengadakan penyelidikan ke tempat pertunjukan. Ketika pementasan sedang berjalan sekelompok Pemuda Ansor yang sudah lama mengintai lakon yang melecehkan kesucian Tuhan tersebut segera melakukan penyergapan. 

Kelompok Pemuda Rakyat melindungi mereka dan akhirnya terjadi perkelahian, walaupun akhirnya semua pemain ketoprak dan pimpinannya diringkus kemudian diadili dan dihukum penjara, karena pertunjukan itu dianggap menodai agama dan mengundang kerusuhan.

Penghinaan terhadap agama ini juga terjadi di Kecamatan Mojo Kediri sekitar tahun 1965, selain menggelar pertunjukan ketoprak dengan lakon Gusti Alah Mantu, juga menggelar lakon Kiai Barhum, yang mengisahkan seorang kiai pesantren yang suka mabuk, selalu sibuk bermain judi dan sekaligus berwatak culas sehingga sering membuat keributan dengan tetangga. 

Pertunjukan itu tidak diserang langsung tetapi hanya dilempar serpihan genting yang sudah diberi mantra oleh Kiai Zazuki. Keajaiban terjadi, tiba-tiba muncul badai besar yang memporak-porandakan panggung dengan segala peralatannya sehingga pertunjukkan tidak jadi dilangsungkan. Sementara itu ketika lakon Gusti Alah Mantu dipentaskan di kecamatan Papar, Kediri, oleh para Banser tidak disergap, tetapi minta bantuan seorang kiai, lalu disirep, hingga semua pemainnya tertidur lelap. Dan saat itulah Banser melakukan penyerbuan tanpa perlawanan dan pemain yang terlibat dieksekusi. 

Di Kecamatan Pogalan Trenggalek, Lekra kembali menyelenggarakan pentas kesenian Langen Tayub persis di sebelah masjid kecamatan selama dua hari dua malam tanpa henti. Karuan saja pertunjukan itu mengganggu aktivitas masjid terutama saat melaksanakan sembahyang, lalu diadakan kompromi, pertunjukan berhenti sejenak saat sembahyang lima waktu. Tetapi kesepakatan itu tidak dipatuhi PKI, namun untuk menjaga perdamaian pihak Ansor tidak mengusir mereka dari halaman masjid. Akhirnya pihak GP Ansor hanya berjaga di serambi masjid agar para simpatisan PKI tidak masuk dan merusak masjid. 

Lain lagi dengan provokasi yang dilakukan oleh Lekra-PKI Kediri, mereka menyelenggarakan pertunjukan wayang di berbagai tempat. Sang dalang KI Jamadi seringkali mengangkat lakon yang menghina agama. Melihat terjadinya penghinaan agama itu, dalam sebuah penyergapan yang dilakukan Ansor ke desa Kencong, rumah KI Jamadi dibakar, selain itu kantor Kecamatan Kepung yang dikuasai PKI direbut kembali oleh Ansor dan diserahkan pada pemerintah. Dalam melakukan serbuan ini Ansor bekerja sama dengan pemuda PNI.

Menyerang agama rupanya telah menjadi naluri bahkan tugas utama para aktivis PKI, sehingga pada suatu ketika PKI Kecamatan Turen Malang yang dipimpin oleh Kusnan dan Niam seorang Ketua Pemuda Rakyat setempat yang terkenal sakti itu menginjak Al Qur’an dengan mengatakan bahwa Al Qur’an bukan kitab suci hanya buku yang berisi kebohongan, seraya menantang kelompok Muslim. 

Akhirnya Ketua Banser Turen yang bernama Samad menantang Niam berkelahi. Dalam perkelahian itu Niam mati terbunuh. Peristiwa ini membuat kelompok PKI Turen ketakutan dan menahan diri tidak melakukan penghinaan terhadap kiai NU yang bisa mengundang kemarahan Ansor.

Walaupun setelah terjadi berbagai protes dan penggerebekan yang dilakukan oleh Ansor NU yang akhirnya membuat berbagai lakon Ludruk dan ketoprak yang menghina agama itu dibubarkan, tetapi PKI di daerah lain ternyata tetap mementaskannya. 

Pada bulan Juli 1965 di Dampit Malang selatan ada kabar ludruk Lekra hendak mementaskan lakon Rabine Malaikat (Malaikat Menikah). Setelah dibicarakan oleh pimpinan Ansor maka diadakan penyelidikan ke tempat pertunjukan, khawatir semuanya ini hanya isu yang sengaja dilontarkan PKI untuk menjebak Ansor. 

Setelah pertunjukan diintai ternyata lakon tersebut benar-benar dipentaskan. Saat itu juga Ansor yang sudah menyamar sebagai penonton dan sebagian bersembunyi di belakang panggung melompat ke atas panggung dan menangkap semua pemainnya sehingga terjadi keributan, bahkan pimpinannya dipukuli oleh Ansor. Karena Ansor bisa menguasai keadaan lalu pertunjukan dibubarkan.

Pertunjukan yang menghina agama semacam itu juga terjadi di Pati, Kudus dan sebagainya, di kota-kota tersebut dipentaskan ketoprak dengan lakon Gusti Alah Bingung. Tentu hal itu memancing kemarahan kelompok santri. Perkelahian antar kedua kelompok  PKI dan santri selalu terjadi di arena pertunjukan seperti itu yang berujung pada pembubaran acara, karena penonton panik dan pemain juga ketakutan.

Berbagai penistaan, penghinaan, serta serangan terhadap agama, baik ajarannya, kitab-kitabnya, pimpinannya serta para pemeluk agama itu membuat kebencian kalangan agama terhadap komunis semakin menjadi-jadi sehingga menempatkannya sebagai musuh agama dan juga musuh negara. Karena itu kelompok agama terutama kalangan santri pesantren NU dan seluruh jaringan NU menempatkan PKI sebagai musuh yang harus dihadapi. (Benturan NU-PKI 1948-1965, Hal. 95-102).

Muso; Santri Penjagal Kaum Santri Dan Kyai

“Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati,

Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati,

Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati!”

Sejak 18 September 1948, saat Muso memproklamirkan Negara Soviet Indonesia di Madiun, slogan itu terus berkumandang dari seluruh anggota sipil PKI Muso dan Tentara Muso yang bernama Front Demokratik Rakyat (FDR). Perlu diketahui, Sekjen dari FDR ini adalah DN Aidit.

Melalui slogan berima itu, PKI membuat bobrok bangunan pondok pesantren, langgar dibubarkan, dan santri dibantai di luar ukuran kemanusiaan. Lebih gila lagi, sebelum slogan itu dikumandangkan di berbagai desa, kota, jalan, dan gang-gang, para anggota PKI sudah menyiapkan lubang-lubang untuk membantai para kyai dan santri. Di berbagai lubang itulah, para kyai dan santri disembelih secara massal.

Muso memang dididik oleh Stalin untuk tega menghancurkan agama. Saat Muso lari ke Moskow pada 1927, setelah berhasil lolos dari pengejaran tentara kolonial Belanda. Pada zaman itu, pemimpin komunis di Uni Soviet adalah Josef Stalin yang membantai 42 juta manusia bangsanya sendiri. Muso dididik langsung oleh Stalin untuk menghancurkan agama dan para agamawan. Muso mengamini perilaku Stalin dan pendahulunya Vladimir Lenin, yang membantai jutaan manusia demi tegaknya komunisme.

Lenin sangat mengamalkan ajaran dari Karl Marx, bahwa agama hanyalah candu. Kekerasan menjadi ciri khas dalam pelaksanaan rezim Komunis di dunia. Rezim Komunis yang anti-Tuhan menggunakan segala cara untuk menumbangkan lawan-lawan politiknya. Dari kalimat Marx dan Lenin inilah, Muso melaksanakan pembantaian di Madiun dan menciptakan jargon : Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati.

Simak saja apa yang dikatakan Karl Marx (1818-1883), “Bila waktu tiba kita tidak akan menutup-nutupi terorisme kita. Kami tidak punya belas kasihan dan kami tidak meminta dari siapa pun rasa belas kasihan. Bila waktunya tiba, kami tidak mencari-cari alasan untuk melaksanakan teror. Cuma ada satu cara untuk memperpendek rasa ngeri mati musuh-musuh itu, dan cara itu adalah teror revolusioner."

Marx juga mengatakan,“Eksistensi Tuhan tidak masuk akal. Tuhan adalah konsep yang menjijikkan. Pendek kata, aku menaruh dendam kepada Tuhan. Agama adalah narkoba bagi masyarakat. Menghujat agama adalah syarat utama dari semua hujatan.”

Muso juga sangat menghayati ayat-ayat keji komunis dari Vladimir llich Ullyan Lenin (1870-1924) yang mengatakan, “Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tetapi di tengah-tengah revolusi sekarang ini yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah. Dan tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu Komunis. Untuk melaksanakan Komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang.”

Lenin juga menganggap setiap ide tentang Tuhan adalah semacam infeksi berbau busuk. Matilah agama dan hiduplah Athéisme! Kita harus memperlakukan agama dengan bengis...kita harus memerangi agama. Inilah A.B.C. Materialisme dan A.B.C. Marxisme.

Sebagai turunan santri, Muso harusnya merasa ngeri, kitab sucinya Lenin dan Stalin adalah buku Manifesto Komunis karya Zagladin. Kalimat kunci palu arit yang pondasinya materialisme mutlak di seluruh jagat raya adalah “Mencapai tujuan dengan menghalalkan berbagai cara.”

Ada 18 ayat-ayat keji Zagladin yang diamalkan komunis, yaitu berdusta, memutar balik fakta, memalsukan dokumen, memfitnah, memeras, menipu, menghasut, menyuap, intimidasi, bersikap keras, membenci, mencaci maki, menyiksa, memperkosa, merusak, menyabot, membumihanguskan, membunuh, dan membantai.

Pertanyaan kita semua, apakah Muso tidak miris, ketika dalam pemerintahan Lenin pasca revolusi Bolshewik (1917-1923), Lenin memerangi agama dengan membunuh 28 uskup dan 1.200 pendeta. Sampai akhir masa berkuasanya, Nikita Kruschev juga membunuh 50.000 pendeta bangsanya sendiri. Bahkan, di tahun 1921, di Kongres Soviet ke -10, Lenin mengumumkan dengan sangat senang dan bangga, telah berhasil melenyapkan rakyat muslim dalam invasi tahun itu.

Muso sang santri itu tega melihat 10.000 gereja dibakar di Uni Soviet, hingga hanya tersisa 1.000 buah. Sedangkan 30.000 masjid yang berdiri di Soviet juga diluluhlantakkan, hingga hanya tersisa 450 buah saja. 

Bahkan, di negara Komunis lain, yaitu Kamboja, Jenderal Ryamizard Ryacudu pernah melihat masjid di Kamboja yang diubah Khmer Merah menjadi kandang babi. 

Muso Menjadi Semakin Kejam Setelah dari Uni Soviet

Saat kembali ke Indonesia, Muso malah melaksanakan ajaran keji Marxisme, Leninisme, Maoisme, dan Manifesto Komunis Zagladin yang gemar memainkan peran sebagai algojo. Ajaran itu diusung secara utuh oleh kader-kader Komunis di Indonesia. Pembantaian yang dimulai dari Madiun pada September 1948 itu, adalah pelaksanaan ajaran.

Muso juga melaksanakan cara-cara Lenin dan Stalin yang membantai dengan menyiapkan Lubang-Lubang Pembantaian. Lubang-lubang pembantaian memang menjadi ciri khas pembunuhan massal oleh komunis sejak di Uni Soviet maupun Tiongkok. Lubang-lubang itu digali sebagai lubang pesta pembantaian bagi siapa pun yang tidak satu paham dengan aliran politik PKI.

Menurut catatan penelitian Rudolph Joseph Rummel, profesor emeritus ilmu politik di University of Hawaii, sebanyak 120 juta manusia telah terbantai oleh Komunisme yang selesai pada tahun 1993 (dua tahun sesudah ideologi komunisme bangkrut di berbagai negara). 

Terdapat 120 juta lebih nyawa yang dibantai di 76 negara sejak 1917 hingga 1991. Sebuah jumlah yang melebihi jumlah korban Perang Dunia I dan II. Setidaknya 500.000 rakyat Rusia dibantai Lenin (1917-1923), 6.000.000 petani Kulak Rusia dibantai Stalin (1929), 40.000.000 lebih warga Soviet dibantai Stalin (1925-1953), 50.000.000 penduduk Rakyat Cina dibantai Mao Tse Tung (1947-1976), 2.500.000 rakyat Kamboja dibantai Pol Pot 0975-1979), 1.000.000 rakyat Eropa Timur di berbagai negara dibantai rezim Komunis setempat dibantu Rusia Soviet (1950-1980), 150.000 rakyat Amerika Latin dibantai rezim Komunis di sana, 1.700.000 rakyat berbagai negara di Afrika dibantai rezim Komunis, dan 1.500.000 rakyat Afghanistan dibantai Najibullah (1978-1987).

Dari Keluarga Kyai, Muso malah Mengganyang Santri

Muso yang dilahirkan di Kediri, Jawa Timur, 1897, dikabarkan sebagai putra seorang kyai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kyai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro. Kabar itu muncul dari informasi awal Ning Neyla Muna, keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri, yang menyebut Muso sebagai keluarga mereka.

KH Mohamad Hamdan lbiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri, mengatakan, Muso memang keluarga besar Ponpes Kapurejo. Yang ia pahami, Muso itu anak bawaan Nyai Juru, saat KH Hasan Muhyi menikahi Nyai Juru. Saat itu, Nyai Juru sudah memiliki putra, salah satunya adalah Muso. 

Sebagai anak seorang kyai dan berada di lingkungan pesantren, sejak kecil tentu saja Muso kecil rajin nyantri. Kalau bukan anak tokoh Islam berpengaruh di Kediri, tentu sulit bagi Muso menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan H.O.STjokroaminoto. 

Di rumah Tjokroaminoto ini, Muso bertemu dengan Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet, yang suka pada ide-ide sosial demokrat revolusioner. Sneevliet datang ke Hindia Belanda (Indonesia) pada 1913. Selama di Surabaya, Sneevliet kerap berdiskusi dengan murid-murid Tjokroaminoto, termasuk Muso. Sneevliet pula yang memasukkan gagasan sosialis dalam tubuh Sarekat Islam, salah satunya melalui Muso.

Di Surabaya ini, akibat bertemu Sneevliet, akhirnya Muso tumbuh menjadi orang yang senang amuk-amukan karena ikut gerakan Sarekat Islam Afdeling-B. Sarekat Islam Afdeling-B atau Seksi B atau Sarekat Islam B adalah suatu cabang revolusioner. Gerakan ini didirikan oleh Sosrokardono pada 1917 di Cimareme, Garut, Jawa Barat.

Andaikan saja Muso tidak ke Surabaya, andaikan tak terpana dengan Sneevliet, andaikan ia tetap dalam Sarikat Islam dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik, tentu puisi keji di atas tak akan lahir. Barangkali, jika Muso tidak terpana dengan komunisme, mungkin dia akan menjadi kyai. Mungkin, pembantaian Madiun itu tak akan pernah terjadi. (Ayat-Ayat Yang Disembelih ; Sejarah Banjir Darah Para Kyai, Santri, Dan Penjaga NKRI Oleh Aksi-Aksi PKI. Penerbit JAGAT Publishing, Hal. 109-114).

Pemaparan singkat di atas setidaknya dapat memberikan gambaran bagi kita mengenai genealogi kekerasan dalam gen para kaum komunis di berbagai negara tidak terkecuali di Indonesia. Berbagai data kekejaman kaum Merah sudah sangat jelas terpampang di depan mata. Penyangkalan demi penyangkalan oleh beberapa pihak tentu menjadi absurd ketika dihadapkan dengan deretan data tersebut.

Apa yang bisa kita petik adalah ajaran penistaan kepada agama adalah ciri khas ajaran Komunisme dan kekerasan berdarah dengan menghalalkan nyawa manusia adalah tradisi khas mereka. Dan hal ini telah terbukti nyata di Republik ini.  Melakukan penistaan kepada agama dan pembunuhan kepada tokoh agama (Ulama) adalah salah satu keahlian mereka, bukan keahlian orang gila seperti yang belakangan selalu diwartakan media.

Dan pelajaran kedua adalah bahayanya berkawan dengan orang yang berpaham sesat karena bisa mengakibatkan pemahaman dan agama seseorang bisa berubah.(Jangan Salah Berkawan)

Dan Muso adalah salah satu contoh nyata bagaimana seorang santri dan anak Kyai bisa berubah haluan menjadi penjagal terbesar kaum santri dan  Kyai dalam sejarah Indonesia. Semoga generasi hari ini bisa mengambil pelajaran besar dari sejarah kelam kaum merah tersebut agar kisah mereka tidak terulang kembali di negeri ini. Wallahu A’lam Bis Showab.

*Peminat Sejarah

Dimuat Di : 

https://hidayatullah.com/kajian/sejarah/2021/10/02/217419/genealogi-kekerasan-dan-riwayat-penistaan-agama-oleh-kaum-komunis.html

https://hidayatullah.com/kajian/sejarah/2021/10/02/217421/muso-santri-penjagal-kaum-santri-dan-kiai.html



BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama