Hidupkan Kembali Ukhuwwah Islamiyah

HIDUPKAN KEMBALI UKHUWWAH ISLAMIYAH

Oleh : Muhammad Syafii Kudo*


Muslim Unity

Mohamad Natsir, Ulama sekaligus Perdana Menteri pertama Republik Indonesia pada 15 Juni 1968 pernah memberikan sebuah tausiyah pada Kuliah Umum di hadapan Mahasiswa IKIP Padang yang berjudul, “HIDUPKAN KEMBALI UKHUWWAH ISLAMIYAH. Beliau berkata,

“Sudah mulai agak janggal pula kedengarannya bila menyebut kaji ini. Kaji yang sudah begitu lama kita kunyah. Tetapi, yang masih sedikit sekali berjumpa pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan modern dengan alat-alat penghubungnya yang serba lengkap, automobil, kereta api, kapal terbang, telepon, pers, radio, televisi, semua itu ternyata gagal dalam menghubungkan jiwa dan jiwa, dalam ikatan persaudaraan yang ikhlas dan hakiki.

Rupanya soalnya bukan soal alat. Soalnya terletak pada jiwa yang akan mempergunakan alat penghubung itu sendiri. Sebaik-baik alat pemotret tidak bisa memprodusir gambar seseorang yang tidak ada. Alat-alat komunikasi yang ultra modern yang dapat menyampaikan pesan kepada satu satelit di luar bumi dengan tekanan suatu knop saja, alat-alat semacam itu tidak mampu menghubungkan rasa muhibbah itu sendiri yang tidak ada.

Alat-alat komunikasi sebagai hasil dari teknik modern ini telah dapat memperpendek jarak sampai sependek-pendeknya. Akan tetapi jarak jiwa dan rasa manusia tidak bertambah pendek lantarannya. 

Malah sebaliknya yang seringkali kita jumpai. Hidup bernafsi-nafsi, siapa lu siapa gua, semakin merajalela. Inilah problematik dunia umumnya sekarang ini, di tengah-tengah kemajuan material dan teknik yang sudah dapat dicapai manusia di abad XX ini.

Ini juga problematik yang dihadapi manusia, umat Islam khususnya. Persoalan Ukhuwwah Islamiyah ini wajib kita memecahkannya dengan sungguh-sungguh, kalau benar-benar kita hendak menegakkan Islam dengan segala kejumbangannya kembali di negara ini.

Bagi umat Islam soal ini hanya dapat dipecahkan oleh umat Islam sendiri, tidak boleh orang lain. Dan jika tidak dipecahkan, maka yang salah ialah umat Islam sendiri, terutama para pemimpinnya, bukan orang lain.

Menegakkan dan menyuburkan Ukhuwwah Islamiyyah tidaklah sangat bergantung kepada alat-alat modern, tidak pula kepada harta bertimbun-timbun. Malah di kalangan kaum yang hidup sederhana itulah kita banyak berjumpa “suasana ukhuwwah” lebih dari kalangan yang serba cukup dan mewah.

Dan sekiranya ukhuwwah itu dapat ditumbuhkan hanya dengan mendirikan bermacam-macam organisasi, dengan anggaran dasar dan kartu anggotanya, dengan semboyan-semboyan dan poster-posternya, semestinya ukhuwwah sudah lama tegak merata di seluruh negeri ini.

Sekiranya Ukhuwwah Islamiyah dapat diciptakan dengan sekedar anjuran-anjuran lisan dan tulisan, semestinya sudah lama Ukhuwwah Islamiyah itu hidup subur di kalangan umat Islam, dan umat itu sudah lama kuat dan tegak. Sebab sudah cukup banyak anjuran lisan dan tulisan yang dituangkan kepada masyarakat selama ini.

Ayat dan hadis mengenai ukhuwwah, sudah berkodi-kodi kertas, dilemparkan ke dalam masyarakat dengan majalah-majalah, buku-buku dan surat-surat kabar, sudah hafal, dikunyah-kunyah dan dimamah orang banyak.

Kalau Ukhuwwah Islamiyah belum kunjung tercipta juga, itu tandanya pekerjaan kita belum selesai. Dan kalau usaha-usaha selama ini belum berhasil dengan memuaskan, itu tandanya masih ada yang ketinggalan, belum dikerjakan.

Rupanya soal ukhuwwah ini soal hati yang hanya dapat dipanggil dengan hati pula. Sedangkan yang sudah terpanggil sampai saat sekarang barulah telinga dan dengan kata. Oleh karena pihak pemanggil yang bisa berbicara barulah lidah dan pena-nya belum hati dan jiwanya.

Rupanya dan memang terbukti rahasianya menegakkan Ukhuwwah Islamiyyah terletak dalam sikap langkah dan perbuatan yang kecil-kecil dalam pergaulan sehari-hari, seperti yang ditekankan benar oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam membina jamaah dan umat Islam yang pertama-tama, tegur sapa, memberi salam, dan menjawab salam, mengunjungi orang sakit yang sedang menderita, mengantarkan jenazah ke kubur, memperhatikan kehidupan sejawat, membujuk hati yang masygul, membukakan pintu rezeki bagi mereka yang terpelanting, membukakan pintu rumah dan pintu hati kepada para dhu’afa,

Dan amal-amal kecil yang semacam itu, kecil-kecil tapi keluar dari hati yang ikhlas dan penuh rasa persaudaraan. Sedangkan kita selama ini lebih tertarik oleh cara-cara borongan, demonstratif, dengan berteras keluar, asal kelihatan oleh orang banyak.

Wal hasil, membangun kembali Ukhuwwah Islamiyah memerlukan peninjauan dan penilaian kembali akan cara-cara yang sudah ditempuh sekarang. Dia memerlukan daya cipta dari pada pemimpin yang dapat berijtihad, dan memerlukan para pekerja lapangan tanpa nama, tanpa mau dikenal khalayak ramai, bersedia meniadakan diri. Memakmurkan masjid kembali, menyusun jamaah, melalui Itu, menegakkan Ukhuwwah Islamiyah adalah kaji alf-baa-taa.

Bukan barang baru lagi ahli qiraat, tapi mungkin sekali kelalaian kita ini adalah lantaran berlaku seperti ahli qiraat yang asyik dengan nada dan irama suara, tapi lupa akan pokok-pokoknya “tajwid alif-baa-taa”.

Waktu belum kasip, asal mulai dari sekarang. Sekarang; Jangan habis masa dengan mengunyah dan memamah apa-apa yang diperbuat dan tidak diperbuat orang lain. Tak usah kita terombang-ambing, oleh pertanyaan- pertanyaan seperti : “Bila nanti orang membuka pasar, apakah kita akan turut berjual beli ...?

Pertanyaan semacam ini baru pantas dipikirkan jawabnya oleh orang yang sudah memiliki modal atau barang yang akan diperdagangkan. Adapun orang yang kantongnya kosong, barang-barang pun tak punya, apakah yang akan diperjual-belikannya nanti biar pun orang membuka pasar ...., Jangan-jangan dia seperti yang akan jadi barang dagangan orang lain .........,

Semogalah tidak akan berlaku sebagai yang dikeluhkan Sya’ir ;

“ Maka berserulah si tukang seru ;

“ Wahai manakah dia yang menyahuti seruan ini,

“ Yang diseru,

 “ tak kunjung menyahut juga .....”.

(T A U S H I Y A H, Dr. Mohamad Natsir; HIDUPKAN DA’WAH BANGUN NEGERI, Taushiyah Dakwah Pemandu Umat; Pesan Dakwah Dr. Mohamad Natsir, Hal. 37-40).

Pesan tegas dalam tausiyah itu adalah menyeru kembali kepada persatuan umat Islam dalam bingkai Ukhuwah Islamiyah dan penjabaran mengenai apa gerangan faktor penghambat persatuan umat Islam selama ini. Mohammad Natsir secara jelas menyatakan bahwa Ukhuwwah Islamiyah bisa ditegakkan hanya bagi mereka yang menyambut seruan itu dengan hati, bukan sekedar dengan telinga. 

Politikus Masyumi tersebut juga menegaskan bahwa untuk membangun kembali Ukhuwwah Islamiyah diperlukan evaluasi komprehensif mengenai cara-cara yang sudah ditempuh. Ia juga memerlukan daya cipta dari para pemimpin yang dapat berijtihad, dan memerlukan para pekerja lapangan tanpa nama, tanpa mau dikenal khalayak ramai, dan bersedia meniadakan diri.

Ini berarti untuk menegakkan Ukhuwwah Islamiyah segala identitas keormasan dan kefanatikan buta pada “kendaraan dakwah” haruslah dibuang. Sebab inilah sandungan terbesar yang sulit dihilangkan oleh umat Islam saat ini. 

Ibarat kata pepatah, “Bukanlah gunung di depanmu yang menghalangi untuk maju namun kerikil di dalam sepatumu lah yang menghentikan langkah mu selama ini. “ Artinya faktor internal lah yang paling dominan dalam menggagalkan langkah maju seseorang selama ini. Termasuk ihwal penghambat persatuan umat, faktor eksternal sebenarnya tidaklah lebih dominan dibandingkan dengan faktor internal.

Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari yang juga pernah menjadi ketua Badan Legislatif Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Ketua Majelis Syuro partai Masyumi yang merupakan wadah persatuan kelompok Islam dimana hampir seluruh elemen umat Islam bersatu, di dalam Qonun Asasi Nahdlatul Ulama menyatakan :

Sesungguhnya berkumpul, tolong-menolong, bersatu, dan saling berkasih-sayang adalah perkara yang tiada seorang pun yang tidak mengetahui manfaatnya. Bagaimana tidak, sungguh Rasulullah SAW telah bersabda yang artinya, “Pertolongan Allah bersama jama’ah (persatuan). Apabila diantara jama’ah itu ada yang memencil sendiri, maka syaitan pun akan menerkamnya seperti halnya serigala menerkam kambing.” (Dinukil dari Al Hafidz As Suyuthi).

Sesungguhnya Allah ridho bagi kalian tiga perkara dan benci bagi kalian tiga perkara. Allah ridho bagi kalian untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun; Allah ridho kalian semua berpegang teguh pada tali Allah dan tidak bercerai-berai; Dan Allah ridho kalian mengharapkan kebaikan (saling menasihati dalam kebaikan) kepada orang yang Allah menguasakan urusan kalian kepadanya (pemimpin). Dan Allah benci bagi kalian banyak omong (yang tidak bermanfaat), banyak bertanya (perkara tidak bermanfaat atau yang selain ilmu), dan menyia-nyiakan harta.

Dari Abu Hurairah Ra. Bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda ,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَحَاسَدُوْا ، وَلاَ تَنَاجَشُوْا ، وَلاَ تَبَاغَضُوْا ، وَلاَ تَدَابَرُوْا ، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا ، اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ ، وَلاَ يَخْذُلُهُ ، وَلاَ يَحْقِرُهُ ، اَلتَّقْوَى هٰهُنَا ، وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْـمُسْلِمَ ، كُلُّ الْـمُسْلِمِ عَلَى الْـمُسْلِمِ حَرَامٌ ، دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

“Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda, “Kalian jangan saling mendengki,  jangan saling membenci, jangan saling membelakangi . Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya.”  (HR: Muslim)

Suatu umat bagaikan satu jasad. Orang-orangnya ibarat anggota tubuhnya. Setiap anggota punya tugas dan perannya. Maka tidak lah kau lihat suatu jasad yang tidak butuh pada anggota-anggota tubuhnya yang lain.

Seperti dimaklumi, manusia pasti butuh bermasyarakat dan bergaul dengan yang lain; sebab seseorang tak mungkin sendirian memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya. Dia mau tidak mau dipaksa bermasyarakat, berkumpul yang membawa kebaikan bagi umatnya dan menolak ancaman bahaya dari padanya.

Maka persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani satu perkara dan seia sekata adalah merupakan penyebab kebahagiaan yang terpenting dan faktor paling kuat bagi menciptakan persaudaraan dan kasih sayang.

Berapa banyak negara-negara yang menjadi makmur, hamba-hamba menjadi pemimpin yang berkuasa, pembangunan merata, negeri-negeri menjadi maju, pemerintah ditegakkan, jalan-jalan menjadi lancar. Perhubungan menjadi ramai dan masih banyak manfaat-manfaat lain dari hasil persatuan merupakan keutamaan yang paling besar dan merupakan sebab dan sarana paling ampuh.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam telah mempersaudara-kan sahabat-sahabatnya sehingga mereka (saling kasih, saling menyayangi dan saling menjaga hubungan) tidak ubahnya satu jasad; apabila salah satu anggota tubuh mengeluh sakit, seluruh jasad ikut merasa demam dan tidak dapat tidur. Itulah sebabnya mereka menang atas musuh mereka, kendati jumlah mereka sedikit. Mereka tundukkan raja-raja, mereka taklukkan negara-negara. Mereka buka kota-kota. Mereka bentangkan payung-payung kemakmuran. Mereka bangun kerajaan-kerajaan. Dan mereka lancarkan jalan-jalan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Dan Aku telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu.” (QS. Al Kahfi : 84 ).

Benarlah kata penyair yang mengatakan dengan bagusnya:

“Berhimpunlah anak-anakku bila

Kegentingan datang melanda

Jangan cerai-berai sendiri-sendiri

Cawan-cawan enggan pecah bila bersama

Ketika bercerai

Satu-satu pecah berderai.”

Sayidina Ali Karamallahu Wajhah berkata:

“Dengan perpecahan tak ada satu kebaikan dikaruniakan Allah kepada seseorang baik dari orang-orang terdahulu maupun orang-orang yang datang belakangan.”

Sebab satu kaum apabila hati mereka berselisih dan hawa nafsu mereka mempermainkan mereka, maka mereka tidak akan melihat suatu tempat pun bagi kemaslahatan bersama. Mereka bukanlah bangsa yang bersatu, tapi hanya individu-individu yang berkumpul dalam arti jasmani belaka. Hati dan keinginan-keinginan mereka saling berselisih. Engkau mengira mereka menjadi satu, padahal hati mereka berbeda-beda.

Mereka telah menjadi seperti kata orang “kambing-kambing” yang berpencaran di padang terbuka. Berbagai binatang buas telah mengepungnya. Kalau sementara mereka tetap selamat, mungkin karena binatang buas belum sampai kepada mereka (dan pasti suatu saat akan sampai kepada mereka), atau karena saling berebut, telah menyebabkan binatang-binatang buas itu saling berkelahi sendiri antara mereka. Lalu sebagian mengalahkan yang lain. Dan yang menang pun akan menjadi perampas, yang kalah menjadi pencuri. Si kambing pun jatuh antara si perampas dan si pencuri.

Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, dan penyebab kehinaan dan kenistaan. Betapa banyak keluarga-keluarga besar, semula hidup dalam keadaan makmur rumah-rumah penuh dengan penghuni, sampai satu ketika kalajengking perpecahan merayapi mereka, bisanya menjalar, meracuni hati mereka dan syaitan pun melakukan peranannya. Mereka kocar-kacir tak karuan. Dan rumah-rumah mereka runtuh berantakan.

Sahabat Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah berkata dengan fasihnya:

“Kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan dan kebatilan sebaliknya dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan.”

Pendek kata siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak sedikit dari ikhwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman serta apa saja yang terjadi pada mereka hingga pada saat-saat kepunahannya, akan mengetahui bahwa kekayaan yang pernah menggelimangi mereka, kebanggaan yang pernah mereka sandang, dan kemuliaan yang pernah mereka jadikan perhiasan mereka, tidak lain adalah karena berkat apa yang secara kukuh mereka pegang, yaitu mereka bersatu, dalam cita-cita seia sekata, searah setujuan, dan pikiran-pikiran mereka seirama.

Maka inilah faktor paling kuat yang mengangkat martabat dan kedaulatan mereka, dan benteng paling kokoh bagi menjaga kekuatan dan keselamatan ajaran mereka. Musuh-musuh mereka tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka, malahan menundukkan kepala, menghormati mereka karena wibawa mereka. 

Dan mereka pun mencapai tujuan-tujuan mereka dengan gemilang. Itulah bangsa yang mentarinya dijadikan Allah tak pernah terbenam senantiasa memancar gemilang. Dan musuh-musuh mereka tak dapat mencapai sinarnya. (Mukadimah Qanun Asasi Rais Akbar Jam’iyah Nahdlatul Ulama KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam Irsyadus Sariy (Kumpulan Kitab Karya Syaikh Hasyim Asy’ari penerbit Pustaka Warisan Islam Tebuireng Jombang, Hal. 21-24).

Adil Dalam Menempatkan Ukhuwah

KH. Ahmad Shiddiq Jember pernah mencetuskan sebuah trilogi ukhuwwah yang berasal dari makalah beliau yang berjudul “Ukhuwwah Islamiyyah dan Kesatuan Nasional: Bagaimana Memahami dan Menerapkannya” menjelang Muktamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta pada tahun 1989. 

Dasar pemikirannya tidak lain adalah dalam rangka menjaga hubungan baik antara masyarakat, agama dan negara. Trilogi Ukhuwah yang terdiri dari Ukhuwah Islamiyah; Ukhuwah Insaniyah (Basyariah) dan Ukhuwah Watoniyah alias Persaudaraan sesama Islam; Persaudaraan sesama manusia; dan persaudaraan sesama anak bangsa itu bagus dalam tataran teori namun sayang dalam prakteknya tidak jarang keluar dari garisnya.

Buktinya hari ini sering kita dapati kegiatan doa lintas agama, bukber di rumah ibadah non Muslim, bersholawatan di dalam rumah ibadah non muslim, pengucapan selamat hari raya bagi sekte sesat oleh seorang tokoh pemerintahan dan lain-lain yang selalu dibungkus dengan kemasan toleransi. Dan semua perbuatan munkar itu selalu dikemas dalam rangka untuk memperkuat Ukhuwwah Insaniyah dan Watoniyah. Apakah hal seperti ini dibenarkan di dalam Islam.

Prof. Sayyid Muhammad Bin Alwi Al Maliki di dalam kitab Al Mukhtar Min Kalamil Akhyar pada bab adab persaudaraan di jalan Allah menyatakan bahwa, “Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS. Al Hujurat : 10).

Ketahuilah sesungguhnya persaudaraan (dalam ikatan) Islam itu lebih kuat daripada persaudaraan (dalam ikatan) nasab (garis keturunan), sehingga tidak dianggap persaudaraan dalam nasab jika telah berlaku persaudaraan Islam. Tidakkah kau lihat ketika meninggal seorang muslim, dan dia punya saudara yang kafir maka hartanya untuk kaum Muslimin bukan untuk saudaranya yang kafir tersebut. Begitu juga jika yang meninggal adalah saudaranya yang kafir. (Al Mukhtar Min Kalamil Akhyar, hal. 20).

Jika nilai persaudaraan dalam Islam lebih kuat dibanding persaudaraan dalam garis keturunan maka konklusi logisnya adalah persaudaraan dalam Islam lebih kuat pula daripada persaudaraan sesama anak bangsa dan manusia. 

Maka janganlah demi alasan menjaga kebhinekaan dan kerukunan antar umat beragama, seorang Muslim rela merusak tali persaudaraan Islamiyahnya. Bahkan idealnya jika bisa akur dengan yang berbeda akidah seyogyanya bisa rukun pula dengan yang sesama akidah meskipun lain wadah dan metode dakwahnya.

Inilah seruan Ukhuwwah Islamiyah yang harus terus kita gemakan di zaman ini. Jikalau di masa perjuangan Mohamad Natsir dan KH. Hasyim Asy’ari sudah menyerukan persatuan umat guna menjawab tantangan zaman kala itu, maka anak zaman hari ini juga harus melakukan hal yang sama guna menghadapi tantangan kepada Islam di masa kini. Sebab kian menuju akhiran dunia pasti tantangan kepada Islam kian meningkat pula bahkan lebih kompleks.

Maka persatuan umat Islam adalah jawaban bagi semua itu. Karena kekuatan umat Islam ada pada persatuannya dan pertolongan Allah ada pada persatuan (Jamaah). Dan seyogyanya perbedaan fikih tidak menghalangi kita untuk bersatu selama masih dalam bingkai akidah Ahlussunah Wal Jamaah. Mengutip Syekh Hasan Al Bana,

 نتعاون على ما اتفقنا ونتسامح فيما اختلفنا

“Kita bekerja sama untuk hal-hal yang kita sepakati dan saling menghormati pada hal-hal yang kita berbeda di dalamnya.”

Pekerjaan rumah umat Islam masih banyak, dan jangan makin memperbanyaknya dengan masalah perpecahan. Mari bersatu. Rapatkan barisan demi kemenangan umat Islam. Wallahu A’lam Bis Showab.

*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan

Dimuat Di : 





BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama